Kamis, 03 Mei 2018

Memperkokoh Akhlak

Oleh KH. Imam Zarkasyi
Ceramah disampaikan di depan latihan Guru-Guru Agama Islam tahun 1946.
Kata etika, moral, atau budi pekerti sudah sangat umum sehingga pelajaran tentang etika mengandung banyak hal yang saling berhubungan. Yang saya bicarakan di sini adalah akhlak atau etika yang perlu bagi seorang guru agama Islam di Indonesia. Sebab, etika atau budi pekerti merupakan ilmu bertindak atau pengetahuan tentang hal-hal yang menunjukkan kepada kita jalan yang baik untuk hidup di tengah masyarakat.
Kini, dunia tampak begitu kecil. Benua-benua saling berdekatan satu sama lain. Bangsa-bangsa hidup saling bergantung dan terikat dalam pergaulan yang sangat erat: pandangan, pendapat, filsafat, dan agama saling berdampingan dan mempengaruhi. Keadaan ini harus kita ketahui dengan jeli agar kita dapat bertindak secara tepat pada masa ini.
Bisa dibilang, etika yang akan saya bicarakan ini cukup rumit, mengingat Anda nanti akan menjadi pendidik agama Islam. Saya katakan rumit karena etika berhubungan dengan agama, sedangkan agama mengandung beberapa anasir yang boleh diringkas dalam tiga macam: kepercayaan (i’tiqad), budi pekerti yang berhubungan dengan perilaku atau perangai (akhlaq), dan perasaan (‘atifah).
Kita dapat menerangkan kepercayaan dengan cukup jelas, sebagaimana Anda telah mempunyai kepercayaan. Jika seseorang sudah percaya terhadap sesuatu, maka segala perhatiannya akan tercurah kepadanya dan tidak dapat mendengarkan pikiran-pikiran lain. Ia menganggap kepercayaannya itu yang paling baik dan sempurna, meski sering kali bertentangan dengan rasionalitas. Memang, pikiran memiliki keterbatasan, baik dalam hal agama maupun lainnya. Oleh karena itu, selain kepercayaan, perlu juga pengetahuan.
Sedangkan akhlak atau budi pekerti dapat kita pahami lebih mudah daripada kepercayaan, sebab budi pekerti berhubungan dengan hal-hal yang konkret dan dapat kita raba. Adapun perasaan adalah suatu hal yang pada masa penjajahan dahulu, kita kobar-kobarkan sebagai kesadaran akan keadaan bangsa akan kedudukan bangsa asing yang berkuasa di negeri kita. Kini, perasaan itu menjelma menjadi semangat persatuan dan perjuangan.
Inilah kerumitan tentang ilmu etika, lebih-lebih bagi Anda sebagai salah seorang guru agama Islam. Belum lagi ditambah dengan masalah-masalah yang dihadapi bangsa kita ini, yang datang silih berganti. Sebenarnya akhlak ini sudah menjadi masalah umat Islam secara global, baik di negara-negara Timur Tengah, India, Mesir, Maroko, Tunisia, dan lain-lain.
Selain itu, dalam bidang ilmu pengetahuan, umat Islam jauh tertinggal dibandingkan bangsa lain. Bukan hanya dalam bidang sains, ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, kesejahteraan, dan seterusnya. Tetapi juga pengetahuan yang berhubungan dengan masyarakat dan alam pikiran di luar keagamaan. Kebanggaan umat Islam hanya karena telah memeluk agama Islam. Itu saja, namun tidak di bidang lainnya.
Misalnya, kita sering mendengar dalam khotbah Jumat, “Alhamdulillah kita ucapkan, karena kita telah menerima kenikmatan iman dan Islam.” Tetapi nikmat iman dan Islam itu belum tampak begitu nyata. Kita kekurangan dan tertinggal dalam segala bidang, baik materiil ataupun lainnya.
Saya pernah membaca keterangan dari Syeikh Muhammad Abduh tentang kemunduran umat Islam ini, kaum muslimin merasa bahwa mereka merupakan suatu kelompok yang berlainan dengan kelompok yang lain, lebih utama dan sempurna. Akan tetapi, perkataan itu hanya tinggal perkataan saja.
Allah SWT berfirman, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. an-Nisa’: 123)
Artinya, segala hal itu tidak hanya cukup di angan-angan, tetapi harus ada kerja nyata. Tentu, harus tetap memperhatikan etika, akhlak mulia, dan budi pekerti. Etika yang saya sampaikan ini, bukan untuk diajarkan di sekolah, melainkan untuk Anda, apa pun profesi Anda. Dengan harapan, akhlak ini menjadi kepedulian dan tanggung jawab setiap muslim, lebih-lebih bagi Anda yang mengajarkan agama Islam kepada para siswa.
Sebetulnya arti akhlak tidak asing bagi kita. Akhlak adalah petunjuk dan pedoman yang harus kita ikuti dalam kehidupan. Bagi umat Islam, pedoman-pedoman itu diambil dari kitab suci dan hadits. “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4). Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari)
Selain itu, kita harus melihat faktor-faktor (anasir) lain. Dalam sejarah Islam, ada kelompok Mu’tazilah. Mereka lebih mementingkan penggunaan akal dan pikiran. Mereka pernah menimbulkan krisis hebat dengan melontarkan pertanyaan yang dalam Ilmu Tauhid disebut soal baik buruknya perbuatan (al-husn wa al-qubh).
Ada sebagian orang yang mengatakan, “Bohong itu dilarang dalam agama. Jadi, bohong itu jelek, maka harus ditinggalkan.” Kemudian muncul pertanyaan, “Dari mana datangnya nilai jelek itu? Apakah perbuatan itu sendiri yang mengandung kejelekan ataukah karena dilarang Tuhan?
Ada yang berpendapat, “Meskipun bohong itu suatu perbuatan yang jelek, tetapi sebelum dilarang, boleh kita kerjakan.” Ada lagi yang mengatakan, “Bohong itu dengan sendirinya sudah jelek. Oleh karena itu, Tuhan melarangnya.” Dalam pandangan kita, tentu saja kita mengetahui, agama itu cocok dengan kebaikan masyarakat. Semua yang diperintahkan agama itu baik, asal kita menjalankannya dengan cara yang baik.
Di samping akhlak yang bersumber dari agama (al-Qur’an dan Hadits), sebetulnya ada banyak aliran pikiran di luar agama Islam yang meneliti hal itu. Mereka meneliti perilaku dan kebiasaan manusia. Sampai saat ini, semua penelitian ini belum menampakkan hasil yang memuaskan.
Sebenarnya akhlak dalam Islam itu sederhana sekali, tetapi paling banyak mendatangkan maslahat bagi masyarakat. Dari dahulu sampai sekarang, akhlak dalam Islam itu tetap tidak berubah. Umpamanya, tidak boleh bohong, tidak boleh mencuri, dan lain sebagainya. Namun dalam pelaksanaannya masih memerlukan disiplin ilmu lain.
Umpamanya, kita tidak boleh berzina. Dalam agama Islam, demikian pula dalam agama lain, zina merupakan larangan keras. Dengan tuntunan Tuhan, tentu kita mempunyai keinginan penuh untuk melaksanakan perintah secara nyata. Namun demikian, terkadang ada faktor-faktor lain yang menyebabkan menjadi susah dikerjakan.
Misalnya, di suatu negeri yang sudah banyak terjadinya perzinaan. Tentu tidak cukup kita hanya mengatakan, “Zina itu dilarang.” Karena semua kalah kuat dengan faktor-faktor yang mendominasi di tengah masyarakat. Jadi, memerlukan disiplin ilmu lain, misalnya untuk menjawab, kenapa di negeri tersebut terjadi banyak perzinaan, apa akar masalahnya, dan lain sebagainya.
Memang, dalam Islam budi pekerti itu bersifat mutlak. Namun jika seseorang tak mengetahui keadaan lingkungan sekitarnya, maka pola pikirnya menjadi kaku dan kolot. Jika hidup di tengah masyarakat, orang yang kaku dan kolot itu agak sulit menyesuaikan diri lingkungan sekitar.
Sisi negatifnya, kaum agamawan nantinya akan dianggap sebagai orang yang fanatik dan tak dapat bergaul dengan orang yang perlu kita dekati dan perlu kita didik. Bahkan, bisa jadi orang-orang yang tak beragama akan menganggap kaum Muslim sebagai umat yang bodoh, mudah ditipu (naif), dan berbagai stigma negatif lainnya.
Penilaian ini muncul karena mereka menyaksikan dan merasakan sendiri. Apalagi mereka tidak begitu mementingkan agama atau agama tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Padahal, saat ini satu golongan tak dapat hidup menyendiri tanpa bergaul dengan orang lain. Satu sama lain memiliki ketergantungan dan saling membutuhkan.
Ini memang pekerjaan berat. Sebagai seorang Muslim, kita harus berpandangan absolut. Namun sebagai orang yang membangun masyarakat, kita harus berpandangan relatif atau nisbi. Jika mampu memadukan keduanya, kita dapat berjalan dengan mudah dan dapat diterima semua kalangan. Inilah akhlak dan budi pekerti yang diteliti para sosiolog.
Ilmu sosiologi ini penting dan memiliki banyak faedah. Jadi, sebagai guru agama Islam, hal-hal yang relatif ini hendaklah juga menjadi perhatian. Untuk itu, kita harus terus menambah dan meningkatkan ilmu, selalu memperhatikan perkembangan dunia global, baik melalui surat kabar dan majalah berbahasa asing, supaya pandangan kita tidak tertuju pada satu jurusan saja (eenzijdig).
Dalam akhlak, tiap-tiap perkataan mengandung nilai. Kalau kita berkata “sepotong kapur ini putih” berarti menunjukkan sifat kapur. Kalau kita berkata “pekerjaan ini baik” berarti perkataan ini mengandung penilaian: setuju, menganjurkan, atau ingin supaya dijalankan. Jadi, tiap-tiap perkataan itu mengandung nilai, sesuatu yang ideal.
Sesuatu yang ideal ini mempunyai sifat absolut sebagai pedoman (ancer-ancer) bagi kita. Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dalam masyarakat, orang yang sempurna itu yang mana? Ada banyak perbedaan pendapat tentang hal ini, tergantung subyek dan konteks zaman. Inilah perbedaan antara absolut dan relatif.
Begitu pula dengan budi pekerti, ada rasionalitasnya. Artinya, tidak bisa kita begitu saja menganggap budi pekerti seseorang itu baik. Hendaknya kita pikir-pikir, kita timbang-timbang dengan sematang-matangnya. Misalnya, saat ini akhlak sering dikaitkan dengan ekonomi dan kemajuan sains-teknologi.
Dalam akhlak, ada suatu hal yang kita namakan “ideal” sebagai ukuran penilaian terhadap suatu hal. Oleh karena itu, etika sering dinamakan ilmu yang normatif. Artinya, penilaian itu dapat dilakukan bila kita mempunyai norma atau ukuran. Kesulitannya, perbedaan pendapat antara yang mutlak dan nisbi, antara yang absolut dan relatif. Memang, sesuatu yang ideal itu sering kali berbeda dengan realitas di tengah masyarakat.
Dengan kata lain, akhlak atau budi pekerti itu mengandung dua unsur, yaitu idealisme dan pola pikir. Pola pikir (mindset) dapat kita gunakan untuk mengetahui hikmah-hikmah dan faedah-faedah. Bukan suatu perbuatan yang baik bila kita hanya mengikut kepada orang banyak, terpengaruh lingkungan, dan lain sebagainya.
Memang, benturan antara idealisme dan realitas ini bisa terjadi. Tentu Anda sering mendengar atau membaca tentang uraian-uraian yang mengatakan bahwa Islam itu suatu agama yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Di dalam Islam banyak sekali dalil yang menganjurkan agar berpikir, mencari ilmu, dan memperluas pengetahuan.
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar [39]: 9) “Carilah ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat.” (HR. Muslim)
Semua itu bukan hanya anjuran untuk menuntut ilmu syariat, termasuk juga pengetahuan umum. Sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu agama dan ilmu umum dalam Islam. Ini sudah menjadi hal umum bagi umat Islam. Namun, umat Islam saat ini bisa dibilang jauh tertinggal di bidang sains dan teknologi.
Kita selalu mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an segala hal telah terkandung di dalamnya. Kita selalu ingat firman Allah SWT, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. al-An’am [6]: 38)
Namun, kita selalu salah memahaminya. Ini bukan berarti di dalam al-Qur’an itu sudah ditulis dengan terang segala-galanya, tetapi hanya prinsip, hanya garis-garis besarnya. Karena itu, terkadang ada banyak hal yang terjadi pada abad modern ini yang kita rasa tidak terdapat di dalam al-Qur’an.
Saya pernah membaca satu buku karangan seorang alim ahli agama, yang seakan-akan tidak paham akan arti yang disebut dalam al-Qur’an. Dia mengatakan, “Apa maksudnya, Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab? Padahal, di dalam al Qur’an tidak ada psikologi, tidak ada ilmu teknik?”
Jadi, dua pendirian ini tidak benar. Yang pertama selalu mengatakan, semua sudah dalam al-Qur’an. Sedangkan yang kedua mengatakan, ilmu-ilmu baru di abad modern tidak ada dalam al-Qur’an. Kedua pendapat ini bisa ditengahi bahwa semua memang sudah ada dalam al-Qur’an, tetapi hanya bersifat prinsip, dasar, atau garis besar.
Dengan demikian, perbedaan pendapat di antara umat Islam bisa dihindari. Artinya, umat Islam sebenarnya telah memiliki dasar-dasar ilmu pengetahuan di dalam al-Qur’an. Selebihnya, umat Islam bisa mengembangkan dan memadukannya dengan sains dan ilmu pengetahuan modern. Dengan begitu, umat Islam bisa meraih kejayaannya kembali.
Saya telah menjelaskan bahwa di dalam agama ada unsur perasaan. Sebetulnya perasaan itu sering tidak sejalan dengan rasionalitas. Sebagai ahli agama, budi pekerti yang seharusnya kita capai jauh lebih sulit daripada orang-orang awam. Untuk itu, selain memiliki perasaan, kita harus mempunyai pemikiran yang jernih dan kuat.
Pemikiran yang jernih dan kuat itu menghendaki beberapa syarat: Pertama, teliti. Artinya, seseorang harus teliti dan tidak percaya begitu saja dengan perkataan orang. Ketika bertemu dengan orang yang sok agamis, sering mengucapkan kalimat thayyibah, kita cenderung mempercayainya. Padahal, belum tentu memiliki niat dan akhlak yang baik.
Untuk itu, kita harus berhati-hati dan terus berpikir jernih. Dengan kata lain, kalau ada yang bertentangan dengan rasionalitas, kita harus lebih jeli lagi melihat, terlepas dari kesan sok agamis tersebut (vooroordeel). Misalnya, ketika melihat satu peristiwa di tengah masyarakat, jangan menggunakan syak wasangka, tapi hendaklah diselidiki betul-betul, apa mudarat dan faedahnya.
Kedua, bersikap positif. Artinya, jangan terlalu percaya dengan takhayul, khurafat, atau keyakinan-keyakinan orang banyak. Misalnya, di dalam al Qur’an banyak dibahas tentang sunnatullah, yaitu hukum-hukum alam yang tetap dan tidak dapat diubah—hukum sebab-akibat. Namun, banyak orang yang mengabaikan dan tidak peduli dengan hal ini.
Ketiga, berpikir kritis. Kritis berarti berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan dan tajam dalam mengalisis. Artinya, ketika melihat satu peristiwa, cobalah untuk mencari informasi dan mengecek ulang, jangan-jangan ada hal yang belum kita ketahui. Kalau perlu, mengoreksi kesalahan yang terjadi.
Inilah pola pikir yang perlu Anda ketahui. Jika semua ini Anda perhatikan, ketika ada hal-hal baru di tengah masyarakat, perkara yang belum pernah kita alami di zaman dahulu, Anda bisa berpikir dengan jernih dan mampu menentukan sikap. Selain itu, Anda juga harus memperhatikan pemikiran dan sikap golongan lain.
Selain pola pikir, kita harus ingat bahwa kita hidup di tengah masyarakat yang cenderung hedonis dan materialistis. Ketika berhadapan dengan masyarakat seperti itu, seorang ahli agama yang memiliki keyakinan dan pemikiran yang jernih dan kuat sering kali tidak bisa menyesuaikan diri.
Oleh karena itu, kita harus lebih peka melihat berbagai permasalahan umat dewasa ini. Di era modern ini, kita tidak bisa melakukan semua hal sendirian, kita harus bagi-bagi tugas (spesialisasi). Di zaman dahulu, sebelum sains-teknologi berkembang seperti sekarang ini, mungkin kita bisa melakukan semua hal sendirian.
Pada zaman purba, aktivitas manusia hanya mengumpulkan barang-barang. Artinya, ketika itu aktivitas manusia hanya mengumpulkan benda yang ada di sekitar, tidak memproduksi barang. Misalnya, mengumpulkan yang ada di sungai dan hutan-hutan, seperti buah-buah atau tulang binatang sebagai alat bantu aktivitas sehari-hari.
Sesudah itu, ada satu kelompok bangsa yang pekerjaannya berburu. Bukan mengumpulkan barang yang sudah ada, tetapi mencari dengan jalan memburu binatang. Lantas, ada golongan manusia yang pola hidupnya sudah lebih tinggi lagi. Tidak hanya mencari barang, tetapi juga memelihara binatang ternak dan dikembangbiakkan.
Kemudian, ada kelompok bangsa yang lebih maju, yaitu mulai membuka lahan pertanian. Jadi, mereka bisa mengusahakan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terakhir, bangsa-bangsa yang memiliki industri dan pabrik-pabrik: membuat barang yang baru sama sekali, wujudnya berlainan dengan yang ada alam.
Jadi, bangsa-bangsa yang tadinya hidup sederhana, semakin lama semakin maju. Pekerjaannya dibagi-bagi berdasarkan spesialisasi keilmuan. Misalnya, merakit mobil. Tadinya, merakit mobil dilakukan satu orang saja. Kemudian dilakukan oleh beberapa orang berdasarkan spesialisasi keilmuan, mulai dari bagian mesin, kelistrikan, desain, dan seterusnya. Dengan begitu, hasilnya lebih sempurna dan memuaskan.
Spesifikasi atau pembagian kerja itu sangat baik efek atau pengaruhnya terhadap budi pekerti. Sebab, kita dapat mengetahui bahwa manusia itu tidak dapat menguasai semua bidang, tetapi cukup menjalankan salah satu pekerjaan di tengah masyarakat. Dengan begitu, terjadilah interaksi sosial. Manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Dalam pembagian kerja itu, kita harus mengakui bahwa setiap orang memiliki skill dan keahlian masing-masing. Setiap orang juga memiliki perasaan yang berbeda-beda. Misalnya, orang yang bekerja sebagai polisi. Jangan mengharap mereka itu akan persis seperti kita. Dengan kata lain, keseragaman justru menyebabkan sistem sosial mandek, tidak ada dinamika, dan hubungan sosial masyarakat tidak berjalan dengan sempurna.
Dari pembagian kerja itu, muncul perbedaan paham dan kebiasaan. Oleh karena itu, ada golongan yang mengatakan bahwa di dunia kerja itu ada etika kerja. Yang dimaksud dengan etika kerja adalah setiap orang harus mempunyai pengetahuan yang sempurna terhadap pekerjaannya dan melaksanakannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Hubungan antara etika kerja dan agama ini memang sulit dijelaskan. Meski keduanya saling terkait, tetapi kadang terlihat saling bertolak belakang. Misalnya, seorang polisi harus bersikap tegas dan kadang-kadang menggunakan kekerasan, maka guru agama harus bersifat lebih lemah lembut. Kenyataan ini seolah saling bertentangan, tetapi sebenarnya saling melengkapi.
Jadi, dengan adanya pembagian kerja itu—kewajiban di dalam masyarakat maupun di bidang ekonomi—setiap orang mempunyai satu peran dan kedudukan sendiri-sendiri. Peran itu bermacam-macam. Tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Yang terpenting, setiap pemenuhan kebutuhan itu harus mengutamakan etika dan hati nurani.
Kalau seseorang tidak mempunyai pekerjaan, tidak mempunyai arah tertentu dalam kehidupan sehari-hari, biasanya cenderung berperilaku negatif, mudah terpengaruh, dan mudah terbawa arus keadaan. Namun bagi orang yang mempunyai pekerjaan, mereka selalu dibebani kewajiban sehingga perilakunya cenderung lebih positif, produktif, dan memberi kontribusi di lingkungan kerjanya.
Intinya, orang yang ingin mempunyai budi pekerti luhur, maka ia harus mempunyai standar etika dan pola pikir yang teliti, positif dan kritis. Dengan demikian, ia mampu menghadapi berbagai tantangan baru yang ada di tengah masyarakat. Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, tata dunia baru, tekanan ekonomi, maka kita harus ingat dengan pembagian kerja ini.
Terakhir, berkaitan dengan kehidupan ekonomi masyarakat. Banyak orang mengatakan bahwa ekonomi yang paling penting sehingga sistem perekonomian inilah yang menentukan budi pekerti dan corak agama kita. Karena materi menentukan pola hidup dan interaksi di tengah masyarakat. Meski pendapat ini tidak sepenuhnya benar, muncullah teori sosial yang berbasis ekonomi atau materi.
Memang, tuntutan ekonomi sering kali memaksa seseorang mengerjakan sesuatu yang dia sendiri tidak menginginkannya. Ini menunjukkan adanya pertentangan batin antara hati nurani dan kehidupan nyata. Di situlah kualitas manusia ditentukan. Tantangan hidup sebenarnya semacam ujian untuk menentukan siapa di antara kita yang paling baik akhlaknya.
Adapun teori-teori ekonomi dan sosial dalam bentuk isme-isme yang sering kita dengar, baik dari kalangan akademisi, ilmuwan, maupun pemimpin bangsa, tidak lain hanyalah metode untuk mengatur masyarakat secara umum. Teori itu semacam pisau analisis untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam hal ini, saya kembalikan ke uraian sebelumnya. Ketika menghadapi kenyataan hidup, kita harus teliti, positif, dan kritis. Karena agama itu luas sekali. Tidak semua yang tidak disebutkan dalam agama itu bertentangan dengan agama. Agama Islam itu mempunyai aturan-aturan yang jelas. Yang haram telah kelihatan, yang halal telah kelihatan. Untuk hal-hal yang baru, kita harus diselidiki terlebih dahulu dengan jeli dan kritis.
Dalam uraian sebelumnya, saya telah membahas tentang akhlak yang mutlak dan yang nisbi, tentang ideal yang absolut dan hal-hal yang relatif. Ada suatu hal yang kita namakan “ideal” sebagai ukuran penilaian terhadap suatu hal. Artinya, penilaian itu dapat dilakukan bila kita mempunyai norma atau ukuran.
Setelah itu, saya telah membicarakan sikap orang yang beragama, akalnya dan pendiriannya terhadap orang yang tidak beragama, sikap teliti, positif, dan kritis. Sebagai ahli agama, budi pekerti yang kita capai memang jauh lebih sulit daripada orang-orang awam. Untuk itu, selain memiliki perasaan, kita harus mempunyai pemikiran yang jernih dan kuat.
Kemudian, saya menguraikan tentang pembagian kerja dalam masyarakat modern (spesifikasi) dan sikap dan tindakan seorang Muslim yang harus lapang dada terhadap keberagaman di tengah masyarakat. Spesifikasi atau pembagian kerja itu sangat baik efek atau pengaruhnya terhadap budi pekerti. Dari situlah terjadi interaksi sosial dan manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Sekarang sebagai pelejaran penghabisan, saya akan menerangkan sikap guru agama Islam terhadap kenegaraan dewasa ini. Kita semua sadar bahwa kita adalah bangsa Indonesia. Namun, mari kita analisis perasaan itu dengan selayaknya sehingga perasaan yang barangkali kurang jelas atau hanya sebagai perasaan emosional sesaat, dapat kita ketahui dengan baik.
Karena berkaitan erat dengan politik atau pedoman-pedoman untuk bertindak, maka perlu kiranya kita mengetahui apa itu bangsa atau negara. Perlu Anda ketahui bahwa konsep kebangsaan ini termasuk hal baru bagi kita, baik dilihat dari kemunculannya, syarat-syaratnya, corak-coraknya, maupun sifat-sifatnya.
Secara sosiologis, semua itu baru kita ketahui. Dengan kata lain, konsep kebangsaan ini baru muncul di abad modern ini. Sebelum itu, konsep kebangsaan ini tidak dikenal. Untuk itu, sikap seorang guru agama seharusnya memandang sekalian manusia itu satu dan tidak membeda-bedakan. Semua orang bersaudara, sebab kita harus hidup dalam damai, saling tolong menolong, dan seterusnya.
Namun, seperti saya katakan tadi, semua itu sifat yang ideal, sifat yang mutlak. Secara naluriah, kita memang menuju atau mencita-citakan sesuatu yang ideal, meski umat manusia belum benar-benar sampai pada apa yang dicita-citakan. Saya sering katakan, orang melihat yang absolut, tidak melihat pada yang relatif.
Inilah yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Inilah yang kemudian disebut sebagai kebangsaan. Sebetulnya ada beberapa kata yang berhubungan satu sama lain, yaitu tanah air, negara, dan bangsa. Sebenarnya semua itu saling berhubungan sehingga kadang-kadang saling tumpang tindih dan campur aduk.
Sekarang mari kita membicarakan yang pertama dahulu, yakni tanah air. Apa yang dimaksud tanah air itu? Sebagian orang mengatakan, tanah air itu tempat yang di dalamnya manusia hidup. Namun, makna ini masih terlalu general sehingga mulai dari zaman dulu sampai sekarang tanah air diartikan sebagai lingkungan yang dekat.
Orang yang memiliki pandangan sempit, tanah air adalah desa. Kalau lebih luas sedikit, tanah air itu kabupaten atau keresidenan. Kalau lebih luas sedikit, tanah air diartikan sebagai pulau. Saat ini, tanah air dipahami sebagai pertahanan nasional, yaitu Indonesia. Jadi, tanah air itu dipahami sebagai “tempat”.
Bisa dibilang, makna ini kurang tepat. Misalnya, pada zaman dahulu, manusia itu hidupnya selalu berpindah-pindah, yaitu yang dinamakan qabilah (suku). Selalu berpindah-pindah hanya untuk mencari makanan dengan berburu dan sebagainya. Jadi, sebetulnya pada zaman dahulu, orang tidak mementingkan apa itu tanah air.
Kesulitan lain, saat ini batas-batas tanah air itu sulit didefinisikan. Sebab, kita dapat dengan mudah melalui batas-batas negeri kita. Misalnya, kita dapat dengan cepat berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya dengan pesawat terbang. Apalagi kalau dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini.
Jika dilihat dari kajian ilmu sosiologi, kata bangsa itu berkaitan erat dengan ras atau suku (race) yang memiliki ciri-ciri khusus dan unik. Misalnya, ada bangsa Negro yang mempunyai rambut keriting dan kulit hitam, bangsa Mongol yang berkulit putih dan bermata sipit, dan begitu seterusnya. Jadi, tiap-tiap bangsa mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri tersendiri.
Namun secara historis, tidak ada satu bangsa yang benar-benar asli dan murni. Artinya, mereka bercampur satu sama lainnya. Saat ini sangat sulit untuk menemui bangsa yang dihuni ras atau suku tertentu saja. Secara faktual, bangsa-bangsa itu telah tercampur, ada beberapa bangsa bersatu dalam suatu pemerintahan. Jadi, pengertian Tanah Air, negara, dan bangsa telah melebur menjadi satu, yang kemudian kita kenal dengan istilah nation.
Ada yang mengatakan bahwa bangsa (nation) itu sangat terkait dengan bahasa. Artinya, tiap-tiap kelompok manusia menggunakan bahasa yang sama. Mereka itulah yang dinamakan bangsa (nation). Secara historis, pendapat ini bisa dibilang kurang tepat. Karena banyak kelompok-kelompok manusia yang mempunya bahasa yang sama, tetapi mereka bertentangan dan berperang satu sama lain.
Dalam sejarah kemerdekaan Amerika, kita melihat orang Amerika dan Inggris yang keduanya berbahasa sama ternyata juga saling berperang. Sebaliknya di Swiss, satu negeri kecil, di sana digunakan banyak bahasa: ada bahasa Prancis, bahasa Jerman, dan bahasa Italia. Namun, mereka mampu membentuk satu bangsa yang sempurna. Jadi, kurang tepat juga orang yang mengatakan bahwa bangsa itu terkait dengan bahasa.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa bangsa itu terkait dengan agama. Dalam artian, kelompok-kelompok manusia yang beragama sama merupakan entitas suatu bangsa (nation). Sekali lagi, secara historis, pendapat ini tidak betul. Orang Kristen berperang dengan orang Kristen. Kenyataan ini banyak terjadi di Eropa.
Demikian pula dengan orang Islam. Kita melihat pada perang besar pertama, orang Arab berperang dengan orang Turki. Padahal, mereka sama-sama beragama Islam. Bahkan, mereka sama-sama dari Kerajaan Turki. Jadi, agama bukanlah bangsa. Inilah yang sering menjadi pertentangan. Kalau kita tidak paham betul, sedikit atau banyak, akan merugikan perjuangan kita.
Konsep tentang kebangsaan ini sebenarnya sudah lama dibahas para ilmuwan. Peristiwa-peristiwa sejarah diperhatikan betul agar kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah. Kemudian, lahirlah teori idealis yang abstrak, penuh makna, tidak dapat kita lihat di alam kebendaan, tetapi mampu membentuk pemikiran dan kejiwaan kita.
Pada tahun 1882, Ernest Renan, seorang ilmuwan dari Prancis, mengatakan bahwa suatu bangsa itu bukan suatu potong tanah, satu bagian dari dunia, bukan suatu ras atau suku dengan ciri-ciri yang unik, bukan bahasa, dan bukan pula agama, tetapi suatu keinsafan atau kemauan untuk hidup bersama.
Jadi, bangsa itu dibangun oleh kelompok-kelompok manusia yang ingin hidup bersama di dalam kemakmuran dan kesempurnaan, baik jasmani maupun rohani. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai bangsa atau nation. Tentu, ada banyak syarat-syaratnya, termasuk bahasa, tempat (tanah), adat kebiasaan, pemerintahan, dan lain sebagainya.
Namun yang paling penting adalah kemauan untuk hidup bersama. Kemauan untuk hidup bersama ini dapat bertambah kuat kalau ada pengalaman atau sejarah yang sudah dialami bersama. Sederhananya, mereka memiliki persamaan nasib. Inilah yang terjadi di negeri kita. Misalnya, Sulawesi, Sumatera, Aceh, semua mempunyai kenang-kenangan yang sama, yaitu berjuang untuk mengusir penjajah. Kemudian, lahirlah bangsa Indonesia.
Kalau kita pandang sepintas lalu, kelihatannya tidak ada hubungan sama sekali antara konsep kebangsaan dengan akhlak. Namun, paham baru ini banyak mempengaruhi pemikiran dan perasaan kita sebagai manusia. Tentu kita harus menyadari kenyataan ini. Karena itu, saya kira perlu untuk disampaikan dan direnungkan bersama-sama.

Makna Tafaqquh Fiddin



Oleh KH. Imam Zarkasyi


Disampaikan pada Resepsi Silaturahim dan Musyawarah Kerja IKPM di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo pada tanggal 19 R. Awal 1404/24 Desember 1983.

Suatu kebahagiaan bagi saya, dapat bertemu muka satu-persatu dengan anak-anakku. Ini merupakan keuntungan bagi kita semua. Mungkin saya akan menyampaikan tambahan. Maklum seperti kata orang, kalau cinta itu omongnya tidak habis-habis. Tapi kalau mulai tidak senang satu sama lain, tidak mau omong.
Sekali lagi, yang akan saya sampaikan nanti banyak. Mungkin malah kurang waktu. Tetapi bagi saya, ini kesempatan yang besar sekali. Malam ini insya Allah kesempatannya panjang. Di antara yang akan saya berikan itu beberapa pengertian baru. Isinya lama, wajahnya lama, tetapi pengertiannya mungkin menjadi baru. Dikatakan baru karena keadaan dan suasananya baru.
Banyak di antara anak-anak kita ini mempunyai pondok pesantren. Paling tidak dia dipanggil orang ‘kyai’. Sekarang ini kedudukan pondok pesantren dan kyai supaya disadari, umpamanya kalau pondok pesantren hanya mempunyai Madrasah Ibtidaiyah, mungkin merasa kecil hati, merasa rendah diri. Kalau hanya mengaji dengan kitab-kitab bahasa Arab, mungkin ada perasaan “hanya”. Untuk itu, saya akan menyampaikan sesuatu supaya dipahami bersama.
Kedudukan kyai, pondok pesantren, ulama pada zaman dulu dan kini lain. Kalau dulu sebelum Belanda datang, kedudukannya baik, dan betul pada tempatnya. Sesudah Belanda datang, sengaja kyai-kyai itu direndahkan untuk politik mereka. Tidak diberi kedudukan, tidak diambil perhatian. Hal itu jelas disebutkan dalam al-Qur’an.
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (النمل: 34)
Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (QS. an-Naml [27]: 34)
Itu berlaku betul ketika Belanda masuk Indonesia. Sehingga raja-raja Islam Jawa dan luar Jawa sedikit banyak terpengaruh oleh Belanda, meskipun di antara mereka masih menghargai kepada kyai dan ulama. Menteri Agama ketika datang di sini menerangkan, dia merasa wajib sowan menghadap kepada kyai, supaya jangan ada kyai yang menghadap kepada umara. Kewajiban umara yang harus menghadap kepada kyai.
Malah dikatakan ada dalilnya, entah dhaif entah qawi, saya tidak tahu, “Sejelek-jelek ulama itu yang sowan umara. Tapi sebaliknya, sebaik-baik umara yang sowan kepada ulama.” Jadi, supaya saya jangan salah, dia yang mendahului ke sini sebelum saya sowan kepadanya. Ini maksudnya, mau mengembalikan status kyai yang sebenarnya.
Ini mungkin kehendak Allah, takdir Allah, datangnya abad yang ke-15 Hijriah ini membawa perubahan. Barangkali di antara anak-anak kita ini, yaitu anakku kakek Ihsanuddin. Anakku tetapi sudah menjadi kakek tua. Dia barangkali ingat bagaimana kyai dulu dihina. Kedudukan kyai itu sebenarnya di mana? Semua sudah hafal ayatnya. Ayat itu menjadi simbol Al-Azhar, simbol Jami’ah Madinah, yaitu ada dalam surah At-Taubah.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة: 122)
Tidak semua orang mukmin itu pergi ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Tentu, kalian sudah mengerti maksudnya. Sampai di situ diterjemahkan, “Tidak semua orang mukmin itu pergi ke perang.” Itu pada waktu perang. Lalu, di era pembangunan bagaimana? Saya mencoba menerjemahkan begini, “Tidak semua orang itu harus menjadi insinyur, tidak semua orang/anak-anak kita ini menjadi dokter, tidak semua harus menjadi ahli hukum. Tidak!”
Lanjut ayat itu, “Hendaknya ada yang tidak pergi berangkat perang, yang tidak menjadi insinyur, yang tidak menjadi doktor.” Ke mana? Mendalami ilmu agama (yatafaqqahu fiddin). Untuk apa? Di sini letaknya. Hati-hati ini. Kalau ayat itu diputus sampai di situ, salah jadinya. Itu belum putus karena di situ ada muta’alliq-nya.
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122)
Untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin) itu untuk apa? Maaf, kalau kata-kata agak tinggi, ini tidak sombong, tetapi memang begitu. Mereka ini yang akan menasihati kaumnya, masyarakatnya. Jadi, mereka yang akan memimpin insinyur, dokter, profesor-profesor. Ini kalau didengarkan oleh insinyur-insinyur yang kurang cerdas, dianggap kita ini menggagahi mereka. Tidak!
Kita suci al-Qur’an begitu! Umpamanya mudah saja, seorang dokter misalnya. Kita bisa mengingatkan, “Pak dokter sebaiknya memberi obat itu sambil berdoa bahwa yang sebenarnya yang menyembuhkan itu bukan obatnya, bukan dokternya, tapi Allah SWT.” Sekarang betul-betul terjadi, seorang dokter membaca bismillahirrahmanirrahim ketika menyuntik. Laris jadinya. Kepada insinyur begitu juga, dan kepada yang lain-lain.
Karena itu, saya ingin mengingatkan kepada anak-anakku yang menjadi pemimpin pondok pesantren, jangan kecil hati, merasa rendah diri bahwa kamu tidak menjadi dokter, tidak menjadi insinyur, justru kamulah yang harus memimpin mereka. Ini al-Qur’an. Jadi, kita jangan kecil hati. Kedudukan sebagai kyai sekarang ini, penghargaan masyarakat berubah jauh sama sekali dibandingkan 50 tahun yang lalu.
Kalau memakai istilahnya anak-anak sekarang, status sosialnya naik. Hanya kadang-kadang, kyai kita ini karena berubah status sosialnya berubah pula cara hidupnya. Ini agak kurang tepat, berubah cara hidupnya, kemewahan, kekakayaan, yang sampai lupa kepada pondoknya, mengutamakan perausahaannya, dan sebagainya.
Inilah yang saya sampaikan. Sekarang saya sudah puas menyampaikan ini, tapi kata-kata tadi “yang akan memimpin” itu untuk kita saja. Kalau ketemu dengan insinyur, jangan katakan begitu, tapi katakan dalam batinmu semua, “Saya yang harus memimpin.”
Kalau sekarang kita mudah mengambil contoh, insinyur yang bagaimana yang harus kita ingatkan? Para hadirin semua tahu. Dokter yang bagaimana yang harus kita ingatkan? Ahli hukum yang mana yang harus kita peringatkan? Sekarang mudah, orang awam banyak yang tahu kesalahan mereka. Bisa dibilang, status sosial pondok pesantren sekarang lain.
Ingatlah, yang mendirikan kerajaan Islam di Nusantara ini ulama, baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain. Jadi kalau kita mengatakan itu, tidak terlalu aneh, bahkan sekarang banyak diangkat dalam sinema, yaitu raja-raja Jawa, Sultan Pajang, dan lain sebagainya. Ketika itu ada yang minta nasihat kepada Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan lain-lain. Dari sini, kita tahu status ulama ketika itu
Sesudah itu kita bekerja, beramal. Beramal itu, kalau Pak Sahal mengatakan begini, “Saya ini hanya naluri, katanya saya tidak mendirikan pondok baru, tapi saya ingin naluri dengan pengertian, orang tua saya itu kyai, saya harus meneruskan sebagai kyai. Lantas, sesudah saya sebagai kyai harus berbuat sebagaimana kyai yang sebaik-baiknya. Kemudian ada Syukri (KH. Abdullah Syukri Zarkasyi—Peny.) yang mengikuti seminar-seminar, pulang membawa kata-kata, ‘Kita ini sudah diletakkan oleh Allah menjadi kyai memimpin pondok pesantren.’ Artinya, kita semua ini sudah diberi beban tafaqquh fiddin.”
Kata orang, mereka panggilannya begitu. Kalau memang mau di situ, jangan ragu-ragu, jangan setengah-setengah, apa bisa sampai? Mahfuzhatnya, “Man sara ‘aladdarbi wasala.” Artinya, segala sesuatu jika kita lalui sebagaimana mestinya, pasti sampai. Itu mengandung arti, pedagang membikin madrasah atau mendirikan percetakan, pokoknya kalau sara ‘ala thariqihi wasala.
Sekarang di dalam madrasah atau pondok pesantren, jalannya bagaimana? Ya kita pikirkan, memeras otak. Ini zaman modern. Kalau zaman dahulu orang mau mendirikan pondok pesantren itu dengan nyepi, mencari impian, katanya harus mencium tanahnya, cocok atau tidak, dan lain sebagainya. Itu dalam dongeng. Zaman sekarang tidak.
Ini abad modern. Semua harus diperhitungkan, otak harus berjalan. Itulah jalan yang harus kita ikuti sebagaimana mestinya. Caranya bagaimana? Ikuti saja mana yang sudah dicapai, kita ambil yang betul, yang baik kita pakai. Jadi, kita sekarang tentunya lebih mudah daripada perintis-perintis zaman dahulu.
Kalau perintis saya, kami Trimurti, Pak Sahal betul-betul melalui jalan yang sangat sulit. Kemarin kami bertemu dengan Kyai Abdullah Syafi’i, kami ngobrol-ngobrol. Dia mengira kalau kami itu diletakkan di tanah yang subur. Saya jawab, “Tidak.” Ketika Trimurti mau menghidupkan itu, masya Allah. Sangat minus, masjidnya begitu kecil. Ketika saya mulai shalat Jumat, isinya hanya sebaris lebih, kadang-kadang dua baris.
Bayangkan! Itu saya sudah pulang dari sekolah untuk menambah jumlah yang Jumatan itu. Itu sudah cukup menjadi bayangan bagaimana minusnya. Orang sekitar sudah terjerumus dalam paham-paham Gatoloco, paham gusti Allah ing awake dewe, shalat model kering-keringan—tidak pakai air, dan lain sebagainya. Masyarakat sekitar pondok begitu semuanya. Menghadapi masyarakat model seperti ini perlu pejuangan yang luar biasa.
Memang betul mujahadah, kemusyrikan tidak terhitung, kemaksiatan tidak terbilang. Kalau dalam suatu desa ada rame-rame, bayi lahir, nanti sepasaran orang datang, ada orang khitanan datang. Tiap-tiap ada perkumpulan kecil seperti itu tidak seharusnya ada ‘kejutan’. Mengeti, apa kejutan itu? Ya itu, mabuk-mabukan. Itu sudah biasa, tidak dianggap maksiat. Begitulah kerusakan masyarakat sekitar pondok.
Pada mulanya, kami hanya mempengaruhi sekitar rumah, itu saja tidak bisa semua. Di antara saudara saya yang kurang mengerti menganggap bahwa Trimurti mendirikan madrasah ini karena tidak menapat tempat untuk menjadi pegawai negeri alias pelarian. Kami mendengar kata-kata itu ya diam saja. Ketika itu kami sudah berniat dari jauh bahwa di tempat inilah kami berjuang. Di sinilah tempat perjuangan, ini sudah menjadi tekad.
Kemudian mempengaruhi warga Desa Gontor ini juga tidak mudah. Ini Pak Sirman masih ingat. Barangkali yang tua sudah lupa sedikit-sedikit. Di sekitar ini yang mula-mula mudah diislamkan itu Gontor Selatan, merambat ke tengah, lantas agak terakhir ke Utara. Untuk mengislamkan sekian itu sangat sulit. Jadi, kalau dikatakan tempat ini subur, tidak benar.
Ada yang dari luar desa, Pak Sirman dari Nglumpang. Ketika itu orang Joresan dibagi dua, sebagian mau dan sebagian anti! Kalau Desa Gandu paling akhir terus ke Timur lebih lancar jalannya. Kemudian sampai ke Tugu, Suren, lama-lama ke luar kecamatan. Pak Shoiman itu dari Balong. Sesudah itu datang dari Trenggalek, luar kabupaten!
Begitu kita merangkak sedikit demi sedikit sampai sekarang. Karena itu, saya ingin supaya ini dimengerti oleh anak-anakku yang mempunyai pondok pesantren. Jangan terburu besar, jangan terburu maju, harus dimengerti mau ke mana. Yang dikatakan maju itu bagaimana? Jangan salah arah!
Maju itu kalau muridnya banyak, itu salah! Maju itu kalau gedungnya besar-besar, baik-baik, salah lagi! Lebih salah! Jadi, yang maju itu bagaimana? Maju itu kalau muridnya dari jauh-jauh, itu kata Pak Ihsanuddin. Apakah anak-anak dari jauh-jauh lantas dimanja-manja? Tidak! Lantas pelajarannya diubah? Tidak! Sekali waktu, ada anak dari Kalimantan menghadap untuk berbicara, kemudian mengusulkan perubahan jadwal atau kurikulum.
Tentu, ketika itu kami jawab, “Ini tidak pada tempatnya.” Yang mengatur kurikulum itu guru atau murid? Itu salah satu jawaban yang mudah saja, tetapi kami jelaskan satu-persatu yang kami anggap penting. Sesudah diperhitungkan, akhirnya tidak sampai ada perubahan. Intinya, bekerja dengan berpikir, berusaha dengan berpikir. Berdoa saja salah, bekerja tidak pakai berdoa juga salah. Bekerja, berpikir, berusaha dan berdoa.