Oleh KH. Imam
Zarkasyi
Ceramah
disampaikan di depan latihan Guru-Guru Agama Islam tahun 1946.
Kata etika, moral,
atau budi pekerti sudah sangat umum sehingga pelajaran tentang etika mengandung
banyak hal yang saling berhubungan. Yang saya bicarakan di sini adalah akhlak
atau etika yang perlu bagi seorang guru agama Islam di Indonesia. Sebab, etika atau
budi pekerti merupakan ilmu bertindak atau pengetahuan tentang hal-hal yang
menunjukkan kepada kita jalan yang baik untuk hidup di tengah masyarakat.
Kini, dunia tampak
begitu kecil. Benua-benua saling berdekatan satu sama lain. Bangsa-bangsa hidup
saling bergantung dan terikat dalam pergaulan yang sangat erat: pandangan,
pendapat, filsafat, dan agama saling berdampingan dan mempengaruhi. Keadaan ini
harus kita ketahui dengan jeli agar kita dapat bertindak secara tepat pada masa
ini.
Bisa dibilang, etika
yang akan saya bicarakan ini cukup rumit, mengingat Anda nanti akan menjadi
pendidik agama Islam. Saya katakan rumit karena etika berhubungan dengan agama,
sedangkan agama mengandung beberapa anasir yang boleh diringkas dalam tiga
macam: kepercayaan (i’tiqad), budi pekerti yang berhubungan dengan
perilaku atau perangai (akhlaq), dan perasaan (‘atifah).
Kita dapat
menerangkan kepercayaan dengan cukup jelas, sebagaimana Anda telah mempunyai
kepercayaan. Jika seseorang sudah percaya terhadap sesuatu, maka segala
perhatiannya akan tercurah kepadanya dan tidak dapat mendengarkan
pikiran-pikiran lain. Ia menganggap kepercayaannya itu yang paling baik dan
sempurna, meski sering kali bertentangan dengan rasionalitas. Memang, pikiran
memiliki keterbatasan, baik dalam hal agama maupun lainnya. Oleh karena itu,
selain kepercayaan, perlu juga pengetahuan.
Sedangkan akhlak atau
budi pekerti dapat kita pahami lebih mudah daripada kepercayaan, sebab budi
pekerti berhubungan dengan hal-hal yang konkret dan dapat kita raba. Adapun
perasaan adalah suatu hal yang pada masa penjajahan dahulu, kita kobar-kobarkan
sebagai kesadaran akan keadaan bangsa akan kedudukan bangsa asing yang berkuasa
di negeri kita. Kini, perasaan itu menjelma menjadi semangat persatuan dan
perjuangan.
Inilah kerumitan
tentang ilmu etika, lebih-lebih bagi Anda sebagai salah seorang guru agama
Islam. Belum lagi ditambah dengan masalah-masalah yang dihadapi bangsa kita
ini, yang datang silih berganti. Sebenarnya akhlak ini sudah menjadi masalah
umat Islam secara global, baik di negara-negara Timur Tengah, India, Mesir,
Maroko, Tunisia, dan lain-lain.
Selain itu, dalam
bidang ilmu pengetahuan, umat Islam jauh tertinggal dibandingkan bangsa lain.
Bukan hanya dalam bidang sains, ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi,
kesejahteraan, dan seterusnya. Tetapi juga pengetahuan yang berhubungan dengan
masyarakat dan alam pikiran di luar keagamaan. Kebanggaan umat Islam hanya
karena telah memeluk agama Islam. Itu saja, namun tidak di bidang lainnya.
Misalnya, kita sering
mendengar dalam khotbah Jumat, “Alhamdulillah kita ucapkan, karena kita telah
menerima kenikmatan iman dan Islam.” Tetapi nikmat iman dan Islam itu belum
tampak begitu nyata. Kita kekurangan dan tertinggal dalam segala bidang, baik
materiil ataupun lainnya.
Saya pernah membaca
keterangan dari Syeikh Muhammad Abduh tentang kemunduran umat Islam ini, kaum
muslimin merasa bahwa mereka merupakan suatu kelompok yang berlainan dengan
kelompok yang lain, lebih utama dan sempurna. Akan tetapi, perkataan itu hanya
tinggal perkataan saja.
Allah SWT berfirman, “(Pahala
dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula)
menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. an-Nisa’: 123)
Artinya, segala hal
itu tidak hanya cukup di angan-angan, tetapi harus ada kerja nyata. Tentu,
harus tetap memperhatikan etika, akhlak mulia, dan budi pekerti. Etika yang
saya sampaikan ini, bukan untuk diajarkan di sekolah, melainkan untuk Anda, apa
pun profesi Anda. Dengan harapan, akhlak ini menjadi kepedulian dan tanggung
jawab setiap muslim, lebih-lebih bagi Anda yang mengajarkan agama Islam kepada
para siswa.
Sebetulnya arti
akhlak tidak asing bagi kita. Akhlak adalah petunjuk dan pedoman yang harus
kita ikuti dalam kehidupan. Bagi umat Islam, pedoman-pedoman itu diambil dari
kitab suci dan hadits. “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung.” (QS. al-Qalam: 4). Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari)
Selain itu, kita
harus melihat faktor-faktor (anasir) lain. Dalam sejarah Islam, ada kelompok
Mu’tazilah. Mereka lebih mementingkan penggunaan akal dan pikiran. Mereka
pernah menimbulkan krisis hebat dengan melontarkan pertanyaan yang dalam Ilmu
Tauhid disebut soal baik buruknya perbuatan (al-husn wa al-qubh).
Ada sebagian orang
yang mengatakan, “Bohong itu dilarang dalam agama. Jadi, bohong itu jelek, maka
harus ditinggalkan.” Kemudian muncul pertanyaan, “Dari mana datangnya nilai
jelek itu? Apakah perbuatan itu sendiri yang mengandung kejelekan ataukah
karena dilarang Tuhan?
Ada yang berpendapat,
“Meskipun bohong itu suatu perbuatan yang jelek, tetapi sebelum dilarang, boleh
kita kerjakan.” Ada lagi yang mengatakan, “Bohong itu dengan sendirinya sudah
jelek. Oleh karena itu, Tuhan melarangnya.” Dalam pandangan kita, tentu saja
kita mengetahui, agama itu cocok dengan kebaikan masyarakat. Semua yang
diperintahkan agama itu baik, asal kita menjalankannya dengan cara yang baik.
Di samping akhlak
yang bersumber dari agama (al-Qur’an dan Hadits), sebetulnya ada banyak aliran
pikiran di luar agama Islam yang meneliti hal itu. Mereka meneliti perilaku dan
kebiasaan manusia. Sampai saat ini, semua penelitian ini belum menampakkan
hasil yang memuaskan.
Sebenarnya akhlak
dalam Islam itu sederhana sekali, tetapi paling banyak mendatangkan maslahat
bagi masyarakat. Dari dahulu sampai sekarang, akhlak dalam Islam itu tetap
tidak berubah. Umpamanya, tidak boleh bohong, tidak boleh mencuri, dan lain
sebagainya. Namun dalam pelaksanaannya masih memerlukan disiplin ilmu lain.
Umpamanya, kita tidak
boleh berzina. Dalam agama Islam, demikian pula dalam agama lain, zina
merupakan larangan keras. Dengan tuntunan Tuhan, tentu kita mempunyai keinginan
penuh untuk melaksanakan perintah secara nyata. Namun demikian, terkadang ada
faktor-faktor lain yang menyebabkan menjadi susah dikerjakan.
Misalnya, di suatu
negeri yang sudah banyak terjadinya perzinaan. Tentu tidak cukup kita hanya
mengatakan, “Zina itu dilarang.” Karena semua kalah kuat dengan faktor-faktor
yang mendominasi di tengah masyarakat. Jadi, memerlukan disiplin ilmu lain,
misalnya untuk menjawab, kenapa di negeri tersebut terjadi banyak perzinaan,
apa akar masalahnya, dan lain sebagainya.
Memang, dalam Islam
budi pekerti itu bersifat mutlak. Namun jika seseorang tak mengetahui keadaan
lingkungan sekitarnya, maka pola pikirnya menjadi kaku dan kolot. Jika hidup di
tengah masyarakat, orang yang kaku dan kolot itu agak sulit menyesuaikan diri
lingkungan sekitar.
Sisi negatifnya, kaum
agamawan nantinya akan dianggap sebagai orang yang fanatik dan tak dapat
bergaul dengan orang yang perlu kita dekati dan perlu kita didik. Bahkan, bisa
jadi orang-orang yang tak beragama akan menganggap kaum Muslim sebagai umat
yang bodoh, mudah ditipu (naif), dan berbagai stigma negatif lainnya.
Penilaian ini muncul
karena mereka menyaksikan dan merasakan sendiri. Apalagi mereka tidak begitu
mementingkan agama atau agama tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting.
Padahal, saat ini satu golongan tak dapat hidup menyendiri tanpa bergaul dengan
orang lain. Satu sama lain memiliki ketergantungan dan saling membutuhkan.
Ini memang pekerjaan
berat. Sebagai seorang Muslim, kita harus berpandangan absolut. Namun sebagai
orang yang membangun masyarakat, kita harus berpandangan relatif atau nisbi.
Jika mampu memadukan keduanya, kita dapat berjalan dengan mudah dan dapat
diterima semua kalangan. Inilah akhlak dan budi pekerti yang diteliti para
sosiolog.
Ilmu sosiologi ini
penting dan memiliki banyak faedah. Jadi, sebagai guru agama Islam, hal-hal
yang relatif ini hendaklah juga menjadi perhatian. Untuk itu, kita harus terus
menambah dan meningkatkan ilmu, selalu memperhatikan perkembangan dunia global,
baik melalui surat kabar dan majalah berbahasa asing, supaya pandangan kita
tidak tertuju pada satu jurusan saja (eenzijdig).
Dalam akhlak,
tiap-tiap perkataan mengandung nilai. Kalau kita berkata “sepotong kapur ini
putih” berarti menunjukkan sifat kapur. Kalau kita berkata “pekerjaan ini baik”
berarti perkataan ini mengandung penilaian: setuju, menganjurkan, atau ingin
supaya dijalankan. Jadi, tiap-tiap perkataan itu mengandung nilai, sesuatu yang
ideal.
Sesuatu yang ideal
ini mempunyai sifat absolut sebagai pedoman (ancer-ancer) bagi kita.
Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dalam masyarakat, orang yang
sempurna itu yang mana? Ada banyak perbedaan pendapat tentang hal ini,
tergantung subyek dan konteks zaman. Inilah perbedaan antara absolut dan
relatif.
Begitu pula dengan
budi pekerti, ada rasionalitasnya. Artinya, tidak bisa kita begitu saja
menganggap budi pekerti seseorang itu baik. Hendaknya kita pikir-pikir, kita
timbang-timbang dengan sematang-matangnya. Misalnya, saat ini akhlak sering
dikaitkan dengan ekonomi dan kemajuan sains-teknologi.
Dalam akhlak, ada
suatu hal yang kita namakan “ideal” sebagai ukuran penilaian terhadap suatu
hal. Oleh karena itu, etika sering dinamakan ilmu yang normatif. Artinya,
penilaian itu dapat dilakukan bila kita mempunyai norma atau ukuran.
Kesulitannya, perbedaan pendapat antara yang mutlak dan nisbi, antara yang
absolut dan relatif. Memang, sesuatu yang ideal itu sering kali berbeda dengan
realitas di tengah masyarakat.
Dengan kata lain,
akhlak atau budi pekerti itu mengandung dua unsur, yaitu idealisme dan pola
pikir. Pola pikir (mindset) dapat kita gunakan untuk mengetahui
hikmah-hikmah dan faedah-faedah. Bukan suatu perbuatan yang baik bila kita
hanya mengikut kepada orang banyak, terpengaruh lingkungan, dan lain
sebagainya.
Memang, benturan
antara idealisme dan realitas ini bisa terjadi. Tentu Anda sering mendengar
atau membaca tentang uraian-uraian yang mengatakan bahwa Islam itu suatu agama
yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Di dalam Islam banyak sekali
dalil yang menganjurkan agar berpikir, mencari ilmu, dan memperluas
pengetahuan.
Katakanlah,
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran. (QS. Az-Zumar [39]: 9) “Carilah ilmu dari buaian ibu
sampai liang lahat.” (HR. Muslim)
Semua itu bukan hanya anjuran untuk menuntut ilmu syariat, termasuk juga
pengetahuan umum. Sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu agama dan ilmu umum dalam
Islam. Ini sudah menjadi hal umum bagi umat Islam. Namun, umat Islam saat ini
bisa dibilang jauh tertinggal di bidang sains dan teknologi.
Kita selalu mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an segala hal telah terkandung
di dalamnya. Kita selalu ingat firman Allah SWT, “Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
(QS. al-An’am [6]: 38)
Namun, kita selalu salah memahaminya. Ini bukan berarti di dalam al-Qur’an
itu sudah ditulis dengan terang segala-galanya, tetapi hanya prinsip, hanya
garis-garis besarnya. Karena itu, terkadang ada banyak hal yang terjadi pada
abad modern ini yang kita rasa tidak terdapat di dalam al-Qur’an.
Saya pernah membaca satu buku karangan seorang alim ahli agama, yang
seakan-akan tidak paham akan arti yang disebut dalam al-Qur’an. Dia mengatakan,
“Apa maksudnya, Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab? Padahal, di
dalam al Qur’an tidak ada psikologi, tidak ada ilmu teknik?”
Jadi, dua pendirian ini tidak benar. Yang pertama selalu mengatakan, semua
sudah dalam al-Qur’an. Sedangkan yang kedua mengatakan, ilmu-ilmu baru di abad
modern tidak ada dalam al-Qur’an. Kedua pendapat ini bisa ditengahi bahwa semua
memang sudah ada dalam al-Qur’an, tetapi hanya bersifat prinsip, dasar, atau
garis besar.
Dengan demikian, perbedaan pendapat di antara umat Islam bisa dihindari.
Artinya, umat Islam sebenarnya telah memiliki dasar-dasar ilmu pengetahuan di
dalam al-Qur’an. Selebihnya, umat Islam bisa mengembangkan dan memadukannya
dengan sains dan ilmu pengetahuan modern. Dengan begitu, umat Islam bisa meraih
kejayaannya kembali.
Saya telah
menjelaskan bahwa di dalam agama ada unsur perasaan. Sebetulnya perasaan itu
sering tidak sejalan dengan rasionalitas. Sebagai ahli agama, budi pekerti yang
seharusnya kita capai jauh lebih sulit daripada orang-orang awam. Untuk itu,
selain memiliki perasaan, kita harus mempunyai pemikiran yang jernih dan kuat.
Pemikiran yang jernih
dan kuat itu menghendaki beberapa syarat: Pertama, teliti. Artinya, seseorang
harus teliti dan tidak percaya begitu saja dengan perkataan orang. Ketika
bertemu dengan orang yang sok agamis, sering mengucapkan kalimat thayyibah,
kita cenderung mempercayainya. Padahal, belum tentu memiliki niat dan akhlak
yang baik.
Untuk itu, kita harus
berhati-hati dan terus berpikir jernih. Dengan kata lain, kalau ada yang
bertentangan dengan rasionalitas, kita harus lebih jeli lagi melihat, terlepas
dari kesan sok agamis tersebut (vooroordeel). Misalnya, ketika melihat
satu peristiwa di tengah masyarakat, jangan menggunakan syak wasangka, tapi
hendaklah diselidiki betul-betul, apa mudarat dan faedahnya.
Kedua, bersikap
positif. Artinya, jangan terlalu percaya dengan takhayul, khurafat, atau
keyakinan-keyakinan orang banyak. Misalnya, di dalam al Qur’an banyak dibahas
tentang sunnatullah, yaitu hukum-hukum alam yang tetap dan tidak dapat
diubah—hukum sebab-akibat. Namun, banyak orang yang mengabaikan dan tidak
peduli dengan hal ini.
Ketiga, berpikir
kritis. Kritis berarti berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan dan tajam
dalam mengalisis. Artinya, ketika melihat satu peristiwa, cobalah untuk mencari
informasi dan mengecek ulang, jangan-jangan ada hal yang belum kita ketahui.
Kalau perlu, mengoreksi kesalahan yang terjadi.
Inilah pola pikir
yang perlu Anda ketahui. Jika semua ini Anda perhatikan, ketika ada hal-hal
baru di tengah masyarakat, perkara yang belum pernah kita alami di zaman
dahulu, Anda bisa berpikir dengan jernih dan mampu menentukan sikap. Selain
itu, Anda juga harus memperhatikan pemikiran dan sikap golongan lain.
Selain pola pikir,
kita harus ingat bahwa kita hidup di tengah masyarakat yang cenderung hedonis
dan materialistis. Ketika berhadapan dengan masyarakat seperti itu, seorang
ahli agama yang memiliki keyakinan dan pemikiran yang jernih dan kuat sering
kali tidak bisa menyesuaikan diri.
Oleh karena itu, kita
harus lebih peka melihat berbagai permasalahan umat dewasa ini. Di era modern
ini, kita tidak bisa melakukan semua hal sendirian, kita harus bagi-bagi tugas
(spesialisasi). Di zaman dahulu, sebelum sains-teknologi berkembang seperti
sekarang ini, mungkin kita bisa melakukan semua hal sendirian.
Pada zaman purba,
aktivitas manusia hanya mengumpulkan barang-barang. Artinya, ketika itu
aktivitas manusia hanya mengumpulkan benda yang ada di sekitar, tidak
memproduksi barang. Misalnya, mengumpulkan yang ada di sungai dan hutan-hutan,
seperti buah-buah atau tulang binatang sebagai alat bantu aktivitas
sehari-hari.
Sesudah itu, ada satu
kelompok bangsa yang pekerjaannya berburu. Bukan mengumpulkan barang yang sudah
ada, tetapi mencari dengan jalan memburu binatang. Lantas, ada golongan manusia
yang pola hidupnya sudah lebih tinggi lagi. Tidak hanya mencari barang, tetapi
juga memelihara binatang ternak dan dikembangbiakkan.
Kemudian, ada kelompok
bangsa yang lebih maju, yaitu mulai membuka lahan pertanian. Jadi, mereka bisa
mengusahakan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terakhir,
bangsa-bangsa yang memiliki industri dan pabrik-pabrik: membuat barang yang
baru sama sekali, wujudnya berlainan dengan yang ada alam.
Jadi, bangsa-bangsa
yang tadinya hidup sederhana, semakin lama semakin maju. Pekerjaannya
dibagi-bagi berdasarkan spesialisasi keilmuan. Misalnya, merakit mobil.
Tadinya, merakit mobil dilakukan satu orang saja. Kemudian dilakukan oleh
beberapa orang berdasarkan spesialisasi keilmuan, mulai dari bagian mesin,
kelistrikan, desain, dan seterusnya. Dengan begitu, hasilnya lebih sempurna dan
memuaskan.
Spesifikasi atau
pembagian kerja itu sangat baik efek atau pengaruhnya terhadap budi pekerti.
Sebab, kita dapat mengetahui bahwa manusia itu tidak dapat menguasai semua
bidang, tetapi cukup menjalankan salah satu pekerjaan di tengah masyarakat.
Dengan begitu, terjadilah interaksi sosial. Manusia saling membutuhkan satu
sama lain.
Dalam pembagian kerja
itu, kita harus mengakui bahwa setiap orang memiliki skill dan keahlian
masing-masing. Setiap orang juga memiliki perasaan yang berbeda-beda. Misalnya,
orang yang bekerja sebagai polisi. Jangan mengharap mereka itu akan persis
seperti kita. Dengan kata lain, keseragaman justru menyebabkan sistem sosial
mandek, tidak ada dinamika, dan hubungan sosial masyarakat tidak berjalan
dengan sempurna.
Dari pembagian kerja
itu, muncul perbedaan paham dan kebiasaan. Oleh karena itu, ada golongan yang mengatakan
bahwa di dunia kerja itu ada etika kerja. Yang dimaksud dengan etika kerja
adalah setiap orang harus mempunyai pengetahuan yang sempurna terhadap
pekerjaannya dan melaksanakannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Hubungan antara etika
kerja dan agama ini memang sulit dijelaskan. Meski keduanya saling terkait,
tetapi kadang terlihat saling bertolak belakang. Misalnya, seorang polisi harus
bersikap tegas dan kadang-kadang menggunakan kekerasan, maka guru agama harus
bersifat lebih lemah lembut. Kenyataan ini seolah saling bertentangan, tetapi
sebenarnya saling melengkapi.
Jadi, dengan adanya
pembagian kerja itu—kewajiban di dalam masyarakat maupun di bidang
ekonomi—setiap orang mempunyai satu peran dan kedudukan sendiri-sendiri. Peran
itu bermacam-macam. Tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Yang
terpenting, setiap pemenuhan kebutuhan itu harus mengutamakan etika dan hati
nurani.
Kalau seseorang tidak
mempunyai pekerjaan, tidak mempunyai arah tertentu dalam kehidupan sehari-hari,
biasanya cenderung berperilaku negatif, mudah terpengaruh, dan mudah terbawa
arus keadaan. Namun bagi orang yang mempunyai pekerjaan, mereka selalu dibebani
kewajiban sehingga perilakunya cenderung lebih positif, produktif, dan memberi
kontribusi di lingkungan kerjanya.
Intinya, orang yang
ingin mempunyai budi pekerti luhur, maka ia harus mempunyai standar etika dan
pola pikir yang teliti, positif dan kritis. Dengan demikian, ia mampu
menghadapi berbagai tantangan baru yang ada di tengah masyarakat. Begitu pula
dalam kehidupan sehari-hari, tata dunia baru, tekanan ekonomi, maka kita harus
ingat dengan pembagian kerja ini.
Terakhir, berkaitan
dengan kehidupan ekonomi masyarakat. Banyak orang mengatakan bahwa ekonomi yang
paling penting sehingga sistem perekonomian inilah yang menentukan budi pekerti
dan corak agama kita. Karena materi menentukan pola hidup dan interaksi di
tengah masyarakat. Meski pendapat ini tidak sepenuhnya benar, muncullah teori
sosial yang berbasis ekonomi atau materi.
Memang, tuntutan ekonomi
sering kali memaksa seseorang mengerjakan sesuatu yang dia sendiri tidak
menginginkannya. Ini menunjukkan adanya pertentangan batin antara hati nurani
dan kehidupan nyata. Di situlah kualitas manusia ditentukan. Tantangan hidup
sebenarnya semacam ujian untuk menentukan siapa di antara kita yang paling baik
akhlaknya.
Adapun teori-teori
ekonomi dan sosial dalam bentuk isme-isme yang sering kita dengar, baik dari
kalangan akademisi, ilmuwan, maupun pemimpin bangsa, tidak lain hanyalah metode
untuk mengatur masyarakat secara umum. Teori itu semacam pisau analisis untuk
menjelaskan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam hal ini, saya
kembalikan ke uraian sebelumnya. Ketika menghadapi kenyataan hidup, kita harus
teliti, positif, dan kritis. Karena agama itu luas sekali. Tidak semua yang
tidak disebutkan dalam agama itu bertentangan dengan agama. Agama Islam itu
mempunyai aturan-aturan yang jelas. Yang haram telah kelihatan, yang halal
telah kelihatan. Untuk hal-hal yang baru, kita harus diselidiki terlebih dahulu
dengan jeli dan kritis.
Dalam uraian
sebelumnya, saya telah membahas tentang akhlak yang mutlak dan yang nisbi,
tentang ideal yang absolut dan hal-hal yang relatif. Ada suatu hal yang kita
namakan “ideal” sebagai ukuran penilaian terhadap suatu hal. Artinya, penilaian
itu dapat dilakukan bila kita mempunyai norma atau ukuran.
Setelah itu, saya
telah membicarakan sikap orang yang beragama, akalnya dan pendiriannya terhadap
orang yang tidak beragama, sikap teliti, positif, dan kritis. Sebagai ahli
agama, budi pekerti yang kita capai memang jauh lebih sulit daripada
orang-orang awam. Untuk itu, selain memiliki perasaan, kita harus mempunyai
pemikiran yang jernih dan kuat.
Kemudian, saya
menguraikan tentang pembagian kerja dalam masyarakat modern (spesifikasi) dan
sikap dan tindakan seorang Muslim yang harus lapang dada terhadap keberagaman
di tengah masyarakat. Spesifikasi atau pembagian kerja itu sangat baik efek
atau pengaruhnya terhadap budi pekerti. Dari situlah terjadi interaksi sosial
dan manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Sekarang sebagai
pelejaran penghabisan, saya akan menerangkan sikap guru agama Islam terhadap kenegaraan
dewasa ini. Kita semua sadar bahwa kita adalah bangsa Indonesia. Namun, mari
kita analisis perasaan itu dengan selayaknya sehingga perasaan yang barangkali
kurang jelas atau hanya sebagai perasaan emosional sesaat, dapat kita ketahui
dengan baik.
Karena berkaitan erat
dengan politik atau pedoman-pedoman untuk bertindak, maka perlu kiranya kita
mengetahui apa itu bangsa atau negara. Perlu Anda ketahui bahwa konsep
kebangsaan ini termasuk hal baru bagi kita, baik dilihat dari kemunculannya,
syarat-syaratnya, corak-coraknya, maupun sifat-sifatnya.
Secara sosiologis,
semua itu baru kita ketahui. Dengan kata lain, konsep kebangsaan ini baru
muncul di abad modern ini. Sebelum itu, konsep kebangsaan ini tidak dikenal.
Untuk itu, sikap seorang guru agama seharusnya memandang sekalian manusia itu
satu dan tidak membeda-bedakan. Semua orang bersaudara, sebab kita harus hidup
dalam damai, saling tolong menolong, dan seterusnya.
Namun, seperti saya
katakan tadi, semua itu sifat yang ideal, sifat yang mutlak. Secara naluriah,
kita memang menuju atau mencita-citakan sesuatu yang ideal, meski umat manusia
belum benar-benar sampai pada apa yang dicita-citakan. Saya sering katakan,
orang melihat yang absolut, tidak melihat pada yang relatif.
Inilah yang terjadi
dalam sejarah umat manusia. Inilah yang kemudian disebut sebagai kebangsaan.
Sebetulnya ada beberapa kata yang berhubungan satu sama lain, yaitu tanah air,
negara, dan bangsa. Sebenarnya semua itu saling berhubungan sehingga
kadang-kadang saling tumpang tindih dan campur aduk.
Sekarang mari kita
membicarakan yang pertama dahulu, yakni tanah air. Apa yang dimaksud tanah air
itu? Sebagian orang mengatakan, tanah air itu tempat yang di dalamnya manusia
hidup. Namun, makna ini masih terlalu general sehingga mulai dari zaman dulu
sampai sekarang tanah air diartikan sebagai lingkungan yang dekat.
Orang yang memiliki
pandangan sempit, tanah air adalah desa. Kalau lebih luas sedikit, tanah air
itu kabupaten atau keresidenan. Kalau lebih luas sedikit, tanah air diartikan
sebagai pulau. Saat ini, tanah air dipahami sebagai pertahanan nasional, yaitu
Indonesia. Jadi, tanah air itu dipahami sebagai “tempat”.
Bisa dibilang, makna
ini kurang tepat. Misalnya, pada zaman dahulu, manusia itu hidupnya selalu
berpindah-pindah, yaitu yang dinamakan qabilah (suku). Selalu
berpindah-pindah hanya untuk mencari makanan dengan berburu dan sebagainya.
Jadi, sebetulnya pada zaman dahulu, orang tidak mementingkan apa itu tanah air.
Kesulitan lain, saat
ini batas-batas tanah air itu sulit didefinisikan. Sebab, kita dapat dengan
mudah melalui batas-batas negeri kita. Misalnya, kita dapat dengan cepat
berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya dengan pesawat terbang. Apalagi
kalau dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini.
Jika dilihat dari
kajian ilmu sosiologi, kata bangsa itu berkaitan erat dengan ras atau suku (race)
yang memiliki ciri-ciri khusus dan unik. Misalnya, ada bangsa Negro yang
mempunyai rambut keriting dan kulit hitam, bangsa Mongol yang berkulit putih
dan bermata sipit, dan begitu seterusnya. Jadi, tiap-tiap bangsa mempunyai
sifat-sifat dan ciri-ciri tersendiri.
Namun secara
historis, tidak ada satu bangsa yang benar-benar asli dan murni. Artinya,
mereka bercampur satu sama lainnya. Saat ini sangat sulit untuk menemui bangsa
yang dihuni ras atau suku tertentu saja. Secara faktual, bangsa-bangsa itu
telah tercampur, ada beberapa bangsa bersatu dalam suatu pemerintahan. Jadi,
pengertian Tanah Air, negara, dan bangsa telah melebur menjadi satu, yang kemudian
kita kenal dengan istilah nation.
Ada yang mengatakan
bahwa bangsa (nation) itu sangat terkait dengan bahasa. Artinya,
tiap-tiap kelompok manusia menggunakan bahasa yang sama. Mereka itulah yang
dinamakan bangsa (nation). Secara historis, pendapat ini bisa dibilang
kurang tepat. Karena banyak kelompok-kelompok manusia yang mempunya bahasa yang
sama, tetapi mereka bertentangan dan berperang satu sama lain.
Dalam sejarah
kemerdekaan Amerika, kita melihat orang Amerika dan Inggris yang keduanya berbahasa
sama ternyata juga saling berperang. Sebaliknya di Swiss, satu negeri kecil, di
sana digunakan banyak bahasa: ada bahasa Prancis, bahasa Jerman, dan bahasa
Italia. Namun, mereka mampu membentuk satu bangsa yang sempurna. Jadi, kurang
tepat juga orang yang mengatakan bahwa bangsa itu terkait dengan bahasa.
Selain itu, ada juga
yang mengatakan bahwa bangsa itu terkait dengan agama. Dalam artian,
kelompok-kelompok manusia yang beragama sama merupakan entitas suatu bangsa (nation).
Sekali lagi, secara historis, pendapat ini tidak betul. Orang Kristen berperang
dengan orang Kristen. Kenyataan ini banyak terjadi di Eropa.
Demikian pula dengan
orang Islam. Kita melihat pada perang besar pertama, orang Arab berperang
dengan orang Turki. Padahal, mereka sama-sama beragama Islam. Bahkan, mereka
sama-sama dari Kerajaan Turki. Jadi, agama bukanlah bangsa. Inilah yang sering
menjadi pertentangan. Kalau kita tidak paham betul, sedikit atau banyak, akan
merugikan perjuangan kita.
Konsep tentang
kebangsaan ini sebenarnya sudah lama dibahas para ilmuwan. Peristiwa-peristiwa
sejarah diperhatikan betul agar kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah.
Kemudian, lahirlah teori idealis yang abstrak, penuh makna, tidak dapat kita
lihat di alam kebendaan, tetapi mampu membentuk pemikiran dan kejiwaan kita.
Pada tahun 1882,
Ernest Renan, seorang ilmuwan dari Prancis, mengatakan bahwa suatu bangsa itu
bukan suatu potong tanah, satu bagian dari dunia, bukan suatu ras atau suku
dengan ciri-ciri yang unik, bukan bahasa, dan bukan pula agama, tetapi suatu
keinsafan atau kemauan untuk hidup bersama.
Jadi, bangsa itu
dibangun oleh kelompok-kelompok manusia yang ingin hidup bersama di dalam
kemakmuran dan kesempurnaan, baik jasmani maupun rohani. Mereka itulah yang
kemudian disebut sebagai bangsa atau nation. Tentu, ada banyak
syarat-syaratnya, termasuk bahasa, tempat (tanah), adat kebiasaan,
pemerintahan, dan lain sebagainya.
Namun yang paling
penting adalah kemauan untuk hidup bersama. Kemauan untuk hidup bersama ini
dapat bertambah kuat kalau ada pengalaman atau sejarah yang sudah dialami
bersama. Sederhananya, mereka memiliki persamaan nasib. Inilah yang terjadi di
negeri kita. Misalnya, Sulawesi, Sumatera, Aceh, semua mempunyai
kenang-kenangan yang sama, yaitu berjuang untuk mengusir penjajah. Kemudian,
lahirlah bangsa Indonesia.
Kalau kita pandang
sepintas lalu, kelihatannya tidak ada hubungan sama sekali antara konsep
kebangsaan dengan akhlak. Namun, paham baru ini banyak mempengaruhi pemikiran
dan perasaan kita sebagai manusia. Tentu kita harus menyadari kenyataan ini.
Karena itu, saya kira perlu untuk disampaikan dan direnungkan bersama-sama.