Rabu, 06 Mei 2015

Pondok Pesantren Modern as-Salam Mojokerto

Terus Berbenah sebagai Bentuk Optimisme


Pondok Pesantren Modern as-Salam ini terletak di Dusun Kauman, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto. Konon, Dusun Kauman ini dulunya adalah tempat pendidikan (barak) pasukan Majapahit. Kalau dilihat letak geografisnya, PPM as-Salam memang tidak terlalu jauh dari Trowulan, yang dulunya merupakan pusat Kerajaan Majapahit.
Secara historis, keberadaan PPM as-Salam ini bermula dari keprihatinan Mbah Imam Puro, sesepuh desa bangsal, melihat kondisi masyarakat waktu itu yang jauh dari kehidupan agama. Kemudian, beliau berinisiatif mendirikan mushalla sebagai tempat ibadah sekaligus mengajarkan ajaran-ajaran Islam, terutama baca al-Quran.
Kemudian, dakwah itu dilanjutkan keturunan beliau, Mbah H. Abdus Salam beserta istrinya Hj. Masrurah. Mereka memiliki harapan yang mulia agar kelak bisa mendirikan pesantren. Untuk itu, mereka mengirim putra-putranya—KH. Abbas Nawawi, KH. Abdullah Nawawi dan KH. Drs. Syu’aib Nawawi, M.Pd.I—untuk belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
Untuk mewujudkan wasiat orangtua, ketiga putra pasangan H. Abdus Salam dan Hj Masrurah serta dibantu saudara-saudaranya bersepakat untuk mendirikan PPM as-Salam. Pada tahun 1992, mereka mendirikan 2 lokal bangunan, baru selesai 40 persen, kemudian terhenti karena keterbatasan dana.
Sepuluh tahun kemudian (2002), bangunan 2 lokal tersebut dilanjutkan sampai selesai. Ketika itu, PPM as-Salam hanya memiliki pelatihan bahasa Arab dan Bahasa Inggris serta TKA/TPA. Setahun kemudian (2003), berdirilah SMP Islam as-Salam dan menerima santri baru. Kemudian menambah 2 lokal bangunan dan kantor (2004) dan 3 lokal asrama santri (2009)
PPM as-Salam memiliki visi: berbudi luhur, berpengetahuan luas, beramal ilmiah. Misinya: Pertama, menumbuhkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam serta berbudaya bangsa sebagai sumber kearifan dalam bertindak. Kedua, mengembangkan potensi akademik peserta didik secara optimal sesuai dengan bakat dan minat melalui proses pembelajaran. Ketiga, membentuk kepribadian kepemimpinan yang didasari Imtaq dan Iptek.
Saat ini SMP Islam as-Salam dikelola oleh Yayasan Pondok Pesantren Modern as-Salam yang beranggotakan keluarga almarhum H. Abdus Salam dan tokoh masyarakat yang peduli terhadap pendidikan Islam. Sebagai penentu kebijakan dan pelaksana harian adalah KH. Abbas Nawawi, KH. Abdullah Nawawi, dan KH. Drs. Syu’aib Nawawi, M.Pd.I. serta dibantu oleh Pengasuhan Santri dan Kepala Sekolah SMP Islam as-Salam.
Membumikan Nilai Gontor
Menurut Ketua Yayasan Pondok Pesantren Modern as-Salam, KH. Drs. Syu’aib Nawawi, M.Pd.I., kurikulum yang diterapkan di PPM as-Salam adalah perpaduan antara Kurikulum Dinas Pendidikan Nasional dan Kurikulum PM Darussalam Gontor Ponorogo. “PPM as-Salam merupakan pesantren alumni Gontor, dan sudah beberapa kali mengirimkan para alumnusnya untuk mengabdi di pesantren ini,” ujarnya.
Ketika pertama kali menerima santri di tahun 2003, ada 12 santri yang mendaftar. Jumlah ini terus mengalami peningkatan: 12 santri (2004), 9 santri (2005), 30 santri (2006), 30 santri (2007), dan 19 santri (2008). Namun, jumlah ini terus mengalami penurunan hingga saat ini hanya tinggal empat orang santri.
Secara fasilitas, PPM as-Salam saat ini sebenarnya cukup memadai: 4 ruang kelas, 3 ruang asrama, dapur santri, laboratorium komputer, mushalla, perpustakaan, dan kantor guru. “Penyebab penurunan jumlah santri ini ada banyak hal, salah satunya karena persaingan pendidikan,” ujar pria yang memiliki enam cucu ini.
Kini, PPM as-Salam mulai berbenah kembali. Dengan penunjukan Chabib Ahmad Ghozali, SE (2014) sebagai Kepala Sekolah SMP Islam as-Salam, putra dari almarhum KH. Abdullah Nawawi, berbagai perbaikan mulai digalakkan, baik kegiatan-kegiatan santri maupun perbaikan sarana-prasana pesantren.
Dari segi kegiatan santri, Ustad Chabib mengatakan, selain memasukkan beberapa mata pelajaran pesantren dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pagi hari—seperti bahasa Arab, mahfuzhat, tarikh Islam, muthala’ah, dan lain-lain—santri juga ditambah dengan pelajaran sore dan malam hari.
Untuk belajar sore, setiap Senin sore santri diberi bekal ilmu qira’ah—baik qira’ah lagu maupun tartil. Untuk belajar malam, selepas Isya’ diisi dengan berbagai pelajaran, seperti kajian tafsir, hadis, terjemah, nahwa-sharaf, kajian kitab kuning, serta peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. “Kegiatan ini berlangsung sampai pukul 21.00 WIB sebelum santri istirahat malam,” ujarnya
Inilah di antara cara PPM as-Salam membumikan nilai-nilai Gontor, sebagaimana sering diungkapkan Kiai Gontor bahwa pesantren itu tidak pernah tidur. Artinya, menyibukkan santri dengan berbagai kegiatan. Kesibukan inilah sebagai media untuk mengekspresikan bakat dan minat santri.
Kalau dilihat kenakalan remaja saat ini, tawuran sudah menjadi hal yang jamak terjadi. Penyebabnya adalah kurangnya pengawasan dan minimnya media yang mewadahi kegiatan siswa. Itulah kenapa SMP Islam as-Salam didirikan dalam bentuk pesantren. Pesantren ini sangat penting untuk perbaikan generasi mendatang, khususnya perbaikan akhlak dan moral.
KH. Syu’aib Nawawi masih ingat nasihat ibunya, Hj. Masrurah, agar betul-betul memperhatikan tentang perbaikan akhlak, terutama adab sopan santun santri dengan santri dan santri dengan guru. Jadi, selain mempelajari ilmu, di dalam pesantren ada perbaikan dari sisi akhlak. “Itulah keunikan pondok pesantren,” ujar Kiai yang berprinsip bekerja keras dan tekun beribadah ini.
Memang agak sulit mengadopsi Kurikulum PM Darussalam Gontor secara utuh, karena sistem pendidikan di Gontor selama 6 tahun (setingkat SMP dan SMA), sedangkan di PPM as-Salam baru ada pendidikan setingkat SMP. Untuk itu, PPM as-Salam akan membuka MAK Grafika jurusan Penerbitan dan Multimedia di tahun ajaran baru mendatang.
Dengan harapan, Kurikulum PM Gontor bisa diadopsi dan diadaptasi secara maksimal, meski tetap dipadukan dengan Kurikulum Departemen Pendidikan dan Departemen Agama. Tentu, butuh kerja ekstra keras untuk mewujudkan cita-cita ini.
Titik Balik
Menurut KH. Syu’aib Nawawi, berkaca dari PM Darussalam Gontor, titik balik pesantren sebenarnya terjadi sesudah peristiwa tahun 1969 di mana semua santri dipulangkan. Setelah dipanggil kembali, ternyata hanya 9 santri yang datang. “Saya orang yang pertama kali sampai ke Gontor,” ujarnya mengenang saat nyantri di Gontor.
Namun, KH. Imam Zarkasyi mendidik kesembilan santri itu dengan sepenuh jiwa dan totalitas. Justru ketika itulah Kiai Syu’aib betul-betul merasakan gemblengan salah satu Trimurti Pendiri PM Darussalam Gontor ini. Hal serupa kini sebenarnya terjadi di PPM as-Salam: santri hanya tinggal 4 orang. “Inilah saatnya untuk berbenah dan menunjukkan totalitas,” ujar alumni Gontor 1974 ini.
Menurut Chabib Ahmad Ghozali, SE., Kepala Sekolah SMP Islam as-Salam, selain menggeliatkan kegiatan santri, berbagai perbaikan sarana-prasaran juga mulai digalakkan. Misalnya, renovasi gerbang pesantren, kamar mandi, dapur, dan lain sebagainya. Dengan harapan, ketika santri baru datang semua infrastruktur sudah siap dan memadai.
Kalau dilihat dari fasilitas yang ada, PPM as-Salam sebenarnya sudah bisa menampung 100-120 santri. Meski saat ini santri tinggal empat orang, alumni Gontor tahun 2002 ini berharap, PPM as-Salam ke depan bisa lebih banyak lagi berkontribusi bagi umat. “Kita terus berbenah. Inilah bentuk kesungguhan dan optimisme kita,” tandasnya. Wiyanto Suud





Tidak ada komentar:

Posting Komentar