Tentang desain grafis atau grafika sudah dibahas sebelumnya. Kali ini kita
akan membahas tentang penulisan atau tradisi literasi. Menulis adalah suatu
seni atau suatu cara bagaimana menuangkan, mengekspresikan dan memaparkan
beberapa buah pikiran yang masih terkandung dan tersimpan di dalam hati
sanubari seorang pengarang.
Bisa dibilang, menulis adalah pekerjaan ruhani yang tampak dalam wujud
jasmani. Yang dimaksud ruhani yaitu beberapa buah pikiran atau pandangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan jasmani adalah perkataan-perkataan atau
tulisan-tulisan. Lebih tepatnya, yaitu mulut dan pena.
Adapun media yang digunakan untuk menuangkan dan mengekspresikan beberapa
pikiran itu ada dua macam, yaitu dengan suara dan tulisan.
Menuangkan dalam suara atau perkataan dapat melalui beberapa cara, yaitu:
1.
Tanya jawab atau
debat
2.
Dengan membaca
3.
Dengan khotbah,
pidato-pidato, dan lain-lain
Adapun menuangkan atau mengekspresikan dengan tulisan pun dapat menggunakan
beberapa cara, yaitu:
1.
Dengan
surat-menyurat.
2.
Dengan risalah,
buku, dan kitab-kitab.
3.
Dengan buletin,
pamflet, brosur, maklumat, etiket, dan rencana program kerja.
Tradisi Literasi sebagai Ukuran Kemajuan Bangsa
Menulis ini bisa berarti menulis buku, kitab, hikayat, roman, tambo,
pantun, puisi, dan lain-lain. Penulis yang baik itu kalau makna yang terkandung
memberi kesan yang mendalam dan susunan kalimatnya terstruktur dengan baik.
Sedangkan jurnalistik bisa diartikan sebagai keadaan-keadaan yang berkaitan
dengan terbitnya koran, majalah, dan lain sebagainya, yakni segala hal yang
berkaitan dengan media massa.
Untuk mencapai kemajuan di masa mendatang, dunia tulis-menulis dan media
massa ini tidak bisa dianggap remeh atau kurang penting. Sebagai bangsa,
Indonesia ini bisa dibilang masih terbelakang bila dibandingkan dengan bangsa
lain.
Karena itu, ilmu penulisan dan jurnalistik patut mendapat perhatian khusus.
Bisa dikatakan, maju mundurnya sebuah bangsa ditentukan oleh budaya baca-tulis
yang ada di negara tersebut. Lebih singkatnya, maju mundurnya sebuah bangsa
ditentukan oleh tradisi literasi di negara tersebut.
Itulah ukuran yang tepat untuk melihat tingkat kecerdasan dan moral sebuah
bangsa. Buku dan koran yang mencerdaskan adalah perguruan tinggi bagi rakyat
jelata yang tak mungkin lagi untuk melanjutkan studi di bangku sekolah. Seorang
jurnalis senior pernah berkata, “Keadaan media massa kita adalah cermin
kecerdasan masyarakat kita.”
Bagaimana pun keadaan masyarakat, entah itu lemah, miskin dan tertindas,
masih tetap bisa dididik, dibimbing, dan diarahkan menuju perubahan yang lebih
baik, yakni terpelajar, cerdas, semangat tetap membara, punya kemauan keras,
dan memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang. Syaratnya hanya satu,
mau membaca buku, kitab, dan koran.
Semua itu bisa dilakukan secara autodidak. Pada akhirnya, mereka dapat
berkarya berdasarkan potensi yang dimiliki tanpa harus bersekolah di perguruan
tinggi.
Dengan membaca buku dan koran, maka rakyat akan pandai dan cerdas memilih
dan memilah, serta memperluas cakrawala wawasan dan pengetahuan. Di samping
itu, membaca koran ini dapat mengakrabkan masyarakat karena mereka saling
berbagi informasi dan mendiskusikan isu hangat menjadi perhatian publik. Dari
situlah akan lahir pergerakan masyarakat yang positif dan menampung aspirasi
rakyat kecil.
Bisa diumpamakan, tradisi baca-tulis dan jurnalistik merupakan profesor yang
memberi nutrisi gizi bagi otak dengan berbagai macam hal, yakni pengetahuan,
kecerdasan, etika, moral, mental, dan seterusnya.
Karena itu, tugas dan tanggung jawab para penulis dan jurnalis ini sangat berat
dan butuh dedikasi yang tinggi. Kenapa demikian? Karena mereka harus memikirkan
cara, metode, dan strategi untuk membawa dan membimbing masyarakat menuju
kemajuan, kesadaran, keinsafan, dan kebahagiaan.
Pada bab-bab selanjutnya akan dijelaskan apa saja bekal dan syarat orang
yang mau menjadi penulis dan jurnalis. Jadi, di sini kita baru paham betapa mulia
dan pentingnya pekerjaan sebagai penulis dan jurnalis ini. Apa pepatah Arab mengatakan:
لَوْ نُزِلَ الْوَحْيُ عَلَى غَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ لَنُزِلَ عَلَى أَقْلَامِ الْكُتَّابِ
Jika sekiranya wahyu itu dapat diturun kepada selain para nabi, niscaya
akan diturunkan kepada para penulis.
Anda bisa berkomentar apa saja dengan peribahasa ini. Namun yang paling
penting, kini kita sadar dan insaf betapa pentingnya tradisi literasi bagi
kemajuan sebuah bangsa. Untuk itu, marilah berlomba-lomba untuk kembali
menghidupkan tradisi literasi ini agar cita-cita mulia memajukan bangsa dan
negara segara dapat terwujud.
Semoga penjelasan ini benar-benar menancap dalam sanubari sehingga kita
bisa mengambil langkah-langkah cepat dan tepat untuk mewujudkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar