Rabu, 02 Mei 2018

Mengenal Lebih Dekat Pondok Pesantren




Pertama-tama yang harus dipahami terlebih dahulu, apa itu pondok pesantren, siapa yang punya, apa isinya, bagaimana kehidupan di dalamnya, mengapa demikian, apa partainya, ke mana nanti sesudah lulus, dan lain sebagainya.
Semua ini sangat penting untuk diketahui agar tidak salah alamat dan salah sambung. Tidak menanyakan gulai atau sate di toko buku, tidak memancing udang di pematang sawah. Karena gulai dan sate biasa dijual di warung-warung nasi, buku dijual di toko-toko buku, sedangkan udang hanya ada di sungai dan lautan.
Mempelajari sesuatu yang tidak pada tempatnya dapat kita katakan salah alamat atau salah sambung. Mempelajari dan meneliti sesuatu itu sangat penting agar tidak keliru, kecele, dan ragu. Jangan seperti orang buta meraba gajah. Jangan seperti monyet makan manggis.
Karena itu, jangan melihat dari satu sudut pandang saja. Jangan merasakan pedas dan manisnya saja saat mencicipi masakan. Jangan seperti orang yang naik kereta api, bersorak-sorai ketika kereta berangkat. Jangan seperti orang melihat hutan, tetapi tertutup oleh satu pohon. Jangan seperti orang yang numpang kendaraan, tetapi tidak tahu arah, jarak yang ditempuh, dan tujuannya.
Mungkin Anda tidak mau tahu dan masa bodoh, tetapi alangkah baiknya kalau mengetahui apa itu pondok pesantren sehingga Anda mendapat gambaran akan menjadi apa siswa di sana. Jadi, perkenalan itu penting.
Secara faktual, banyak orang yang salah paham terhadap Pondok Modern sehingga sesat dan menyesatkan. Sebagian ada yang mengira bahwa Pondok Modern itu lebih modern dalam pemahaman agama, Pondok Modern banyak mementingkan pelajaran agama daripada ilmu umum, atau sebaliknya.
Ada juga yang bilang, Pondok Modern hanya mementingkan budi pekerti dan bahasa asing, gedungnya bagus-bagus dan megah, dan suasana kepesantrenannya hanya tampak di bulan Ramadhan.
Semua pendapat ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya atau dibenarkan sepenuhnya. Untuk mengetahui apa itu Pondok Modern, maka diadakan pekan perkenalan. Yang jelas, kami sudah mengikrarkan, “Semua yang ada di pondok pesantren itu untuk perbaikan.” In uridu illal ishlah.
Segala sesuatu yang ada dalam Pondok Modern ini harus berisi pendidikan, latihan, dan pengajaran. Semua pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern harus selalu menyesuaikan dengan kebutuhan umat—kebutuhan masyarakat 10-20 tahun mendatang. Semua itu dipersiapkan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan amanah dan kewajiban kepada Allah.
Semoga dengan pekan perkenalan ini, hilanglah rasa ragu, kemudian tumbuh kepercayaan dalam hati. Dengan demikian, lahirlah rasa cinta dan ikhlas yang mendalam terhadap apa saja yang dilakukan Pondok Modern.
Orang di luar pondok pesantren sering salah menjelaskan apa pengertian pondok dan kekeliruan orang luar memaknai sebuah pondok. Menurut Dr. C. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang orientalis berkebangsaan Belanda, pondok itu terdiri dari gedung-gedung persegi empat, biasanya terbuat dari bambu-bambu.
Untuk desa dengan tingkat kesejahteraan yang bagus, tak jarang ditemukan dinding dan tangga pondok terbuat dari jenis kayu yang berkualitas. Karena kebanyakan santri tidak bersepatu dan harus mencuci kaki sebelum masuk ke asrama, maka dibuatlah titian dari batu yang menghubungkan antara sumur dengan asrama. Untuk pondok yang lebih sederhana biasanya hanya terdiri dari satu ruangan besar yang menjadi bangsal bagi santri.
Sedangkan untuk pondok yang lebih besar, biasanya terdiri dari deretan kamar-kamar kecil yang saling berhadapan, di tengah-tengahnya ada gang, kamar-kamarnya kecil dan sempit sehingga ketika memasuki kamar harus menundukkan kepala. Jendelanya pun kecil-kecil dengan hiasan teralis kayu.
Demikian pula perabotan dalam kamar, sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu tergantung tikar yang terbuat dari pandan atau rotan, dampar yang di atasnya disusun kitab-kitab klasik, pena dan tempat tinta yang terbuat dari kuningan atau botol biasa. Jika seorang murid hendak mengerjakan tugas sekolah, mereka duduk bersila di atas tikar sambil menghadap ke jendela. Terkadang ada murid yang membaca dan menulis sambil tiduran di atas lantai. Terkadang ada rak buku di pojok kamar untuk menampung kitab-kitab berbahasa Arab pegon.
Segala kebutuhan santri dibawa dari rumah, seperti koper, tikar dan bantul, perabot dapur, dan lain sebagainya. Sedangkan santri yang berasal dari keluarga mampu, mereka memiliki kasur dan bantal yang agak mewah yang ditutupi dengan seprei. Sajadah menjadi barang wajib dalam pondok. Baju bergantungan di sana-sini, jas, baju kokoh, kemeja, kopiah, dan di dekat pintu terdapat sandal jepit atau terompah. Ada beberapa kotak kecil yang disimpan di dapur di belakang asrama yang biasanya diterangi satu atau dua buah lampu.
Satu kamar biasanya diisi 8-10 santri sehingga terasa sempit dan pengap. Namun, hal itu tidak menjadi masalah karena sebagian besar di antara mereka ketika mengulang pelajaran tidak berada dalam kamar. Mereka pergi ke masjid atau mushalla yang terletak di tengah-tengah kompleks pondok. Selain itu santri biasanya juga bersantai atau sekadar tiduran di masjid.
Setiap pesantren punya santri senior yang diserahi tanggung jawab untuk mengatur keamanan dan kedisiplinan pondok. Kriteria santri senior ini berdasarkan lamanya tinggal di dalam pondok. Biasanya mereka tinggal di asrama yang berbeda dengan kondisi yang lebih bersih dan teratur. Di Jawa, santri senior ini biasa disebut lurah pondok.
Sedangkan di dapur biasanya terdapat satu dua buah tungku dari batu bata, periuk nasi, kendi, nampan, cawan, tempayan, gentong, dan alat keperluan dapur lainnya. Sedangkan di pondok yang sedikit lebih maju, dapur dilengkapi dengan ikan, daging, dan botol-botol atau kaleng-kaleng yang berisi bumbu-bumbu. Mereka yang bertanggung jawab atas kedisiplinan santri di dapur ini biasa disebut lurah dapur.
Di depan pondok biasanya ada gerbang yang besar sebagai pintu keluar masuk santri. Untuk itu, pondok biasanya memiliki peraturan dan disiplin yang harus ditaati, kapan dibolehkan keluar pondok, yang ditulis dan ditempelkan di dinding asrama untuk kemaslahatan bersama. Pengumuman itu ditulis dalam aksara Arab pegon.
Meski demikian, susunan perumahan di pondok-pondok itu tergantung kegiatan dan kebijakan guru. Selain masjid, pesantren juga memiliki aula sebagai tempat untuk mengulang pelajaran, pertemuan santri, atau untuk mendengar arahan dan ceramah dari Kyai.
***
Dr. C. Snouck Hurgronje itu hanya melihat pondok secara fisik—letak, gedung, dan bahan bangunan pondok. Dia memasuki kamar-kamar santri, berkeliling dapur, dan melihat lemari-lemari santri. Dia menulis semua itu dengan maksud mengajak khalayak publik untuk menilai dan menyimpulkan apa yang dia lihat.
Kalau hanya melihat bentuk fisik pondok, maka benar apa yang sudah kami sampaikan. Jangan sampai melihat sesuatu itu seperti monyet makan manggis. Sebelum buah manggis digigit, buah itu dilihat beruang kali, dibau, dicium, dan diletakkan. Kemudian, diambil lagi. Begitu diulang sampai beberapa kali, akhirnya digigit. Bagaimana rasanya? Kulit manggis itu terasa pahit dan bercampur dengan getah. Tentu, monyet itu akan meletakkannya. Dia mengira, manggis itu rasanya pahit. Setelah melakukan observasi, monyet itu menyimpulkan manggis terasa pahit. Sebelum dia merasakan manisnya buah manggis, dia sudah membuang buah manggis tersebut.
Itulah penelitian yang dilakukan oleh Dr. C. Snouck Hurgronje. Dia hanya melihat dan meneliti pondok pesantren dari sudut pandang fisiknya. Tidak melihat dari kegiatan, pendidikan, dan pengajaran yang ada dalam pondok.
Secara historis, berdirinya pondok itu berawal dari sosok seorang Kyai. Dia adalah orang yang alim dengan ilmu agama. Dia punya hasrat untuk menyebarkan ilmunya. Kemudian, dia mencari tempat yang cocok untuk mendirikan masjid atau surau. Orang-orang yang hendak menimba ilmu mendatangi orang alim tersebut.
Seiring berjalannya waktu, jumlah santri mulai bertambah. Saat itu rumah Kyai tidak bisa menampung para santri. Karena itu, mereka mendirikan asrama sebagai tempat tinggal di sekitar masjid dan di dekat rumah Kyai. Asrama-asrama itu ada yang sifatnya sementara, ada juga yang sifatnya permanen. Karena sering dipergunakan, maka dilakukan perbaikan-perbaikan.
Dari tahun ke tahun, tempat itu menjadi masyhur dan dibanjiri santri-santri dari berbagai daerah. Secara otomatis, asrama-asrama santri bertambah sampai menjelma menjadi perkampungan. Ketika santri sudah tamat belajar atau karena satu hal harus pulang ke kampung halaman, asrama-asrama itu tidak dibongkar, tetapi dimanfaatkan oleh santri yang baru datang.
Boleh dibilang, asrama-asrama itu sudah diwakafkan untuk santri-santri yang lain. Karena santri datang dan pergi silih berganti, asrama itu pun diperbaiki sesuai dengan kebutuhan santri. Kompleks perkampungan santri inilah yang kemudian disebut sebagai pesantren.
Pada zaman dahulu, pesantren atau padepokan mendapat apresiasi yang luar biasa dari pemerintah dan raja-raja Jawa. Mereka dibebaskan dari pajak, upeti, dan beban iuran kepada negara. Perkampungan itu disebut “Desa Perdikan” atau Kampung yang Merdeka. Di berbagai daerah, nama itu bisa berbeda-beda—di Madura disebut Penyantren, di Sunda disebut Pondok, di Aceh disebut Rangkang Meunasah, di Minangkabau disebut Surau.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para santri membawa bekal dari rumah masing-masing. Tentu disesuaikan dengan kemampuan mereka, ada yang membawa bekal untuk dua-tiga bulan, satu bulan, atau untuk kebutuhan selama satu-dua minggu. Jelas, santri itu pulang pergi dari pondok ke kampungnya. Ada yang mencari bekal dulu selama satu-dua minggu, kemudian kembali lagi ke pondok untuk belajar. Demikianlah belajar di pondok pada zaman dahulu.
Jadi, yang mendirikan pondok itu santri bukan Kyai. Bukan Kyai yang menggali sumur untuk kebutuhan para santri, dan bukan Kyai yang menyediakan asrama-asrama santri. Oleh karena itu, sudah hal yang biasa kalau ada dipan dalam asrama, dan hal yang biasa kalau santri hanya memiliki selembar tikar.
Bagi yang mampu, sah-sah saja membawa ranjang besi, kasur, dan bantal dari kampungnya sehingga corak dan ragam kehidupan di pesantren bisa bermacam-macam. Dengan begitu, santri bisa fokus belajar di bidang ilmu yang dia minati. Adapun tempat, pakaian, makan dan minum itu hal kecil bagi santri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar