Kamis, 03 Mei 2018

Makna Tafaqquh Fiddin



Oleh KH. Imam Zarkasyi


Disampaikan pada Resepsi Silaturahim dan Musyawarah Kerja IKPM di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo pada tanggal 19 R. Awal 1404/24 Desember 1983.

Suatu kebahagiaan bagi saya, dapat bertemu muka satu-persatu dengan anak-anakku. Ini merupakan keuntungan bagi kita semua. Mungkin saya akan menyampaikan tambahan. Maklum seperti kata orang, kalau cinta itu omongnya tidak habis-habis. Tapi kalau mulai tidak senang satu sama lain, tidak mau omong.
Sekali lagi, yang akan saya sampaikan nanti banyak. Mungkin malah kurang waktu. Tetapi bagi saya, ini kesempatan yang besar sekali. Malam ini insya Allah kesempatannya panjang. Di antara yang akan saya berikan itu beberapa pengertian baru. Isinya lama, wajahnya lama, tetapi pengertiannya mungkin menjadi baru. Dikatakan baru karena keadaan dan suasananya baru.
Banyak di antara anak-anak kita ini mempunyai pondok pesantren. Paling tidak dia dipanggil orang ‘kyai’. Sekarang ini kedudukan pondok pesantren dan kyai supaya disadari, umpamanya kalau pondok pesantren hanya mempunyai Madrasah Ibtidaiyah, mungkin merasa kecil hati, merasa rendah diri. Kalau hanya mengaji dengan kitab-kitab bahasa Arab, mungkin ada perasaan “hanya”. Untuk itu, saya akan menyampaikan sesuatu supaya dipahami bersama.
Kedudukan kyai, pondok pesantren, ulama pada zaman dulu dan kini lain. Kalau dulu sebelum Belanda datang, kedudukannya baik, dan betul pada tempatnya. Sesudah Belanda datang, sengaja kyai-kyai itu direndahkan untuk politik mereka. Tidak diberi kedudukan, tidak diambil perhatian. Hal itu jelas disebutkan dalam al-Qur’an.
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (النمل: 34)
Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (QS. an-Naml [27]: 34)
Itu berlaku betul ketika Belanda masuk Indonesia. Sehingga raja-raja Islam Jawa dan luar Jawa sedikit banyak terpengaruh oleh Belanda, meskipun di antara mereka masih menghargai kepada kyai dan ulama. Menteri Agama ketika datang di sini menerangkan, dia merasa wajib sowan menghadap kepada kyai, supaya jangan ada kyai yang menghadap kepada umara. Kewajiban umara yang harus menghadap kepada kyai.
Malah dikatakan ada dalilnya, entah dhaif entah qawi, saya tidak tahu, “Sejelek-jelek ulama itu yang sowan umara. Tapi sebaliknya, sebaik-baik umara yang sowan kepada ulama.” Jadi, supaya saya jangan salah, dia yang mendahului ke sini sebelum saya sowan kepadanya. Ini maksudnya, mau mengembalikan status kyai yang sebenarnya.
Ini mungkin kehendak Allah, takdir Allah, datangnya abad yang ke-15 Hijriah ini membawa perubahan. Barangkali di antara anak-anak kita ini, yaitu anakku kakek Ihsanuddin. Anakku tetapi sudah menjadi kakek tua. Dia barangkali ingat bagaimana kyai dulu dihina. Kedudukan kyai itu sebenarnya di mana? Semua sudah hafal ayatnya. Ayat itu menjadi simbol Al-Azhar, simbol Jami’ah Madinah, yaitu ada dalam surah At-Taubah.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة: 122)
Tidak semua orang mukmin itu pergi ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Tentu, kalian sudah mengerti maksudnya. Sampai di situ diterjemahkan, “Tidak semua orang mukmin itu pergi ke perang.” Itu pada waktu perang. Lalu, di era pembangunan bagaimana? Saya mencoba menerjemahkan begini, “Tidak semua orang itu harus menjadi insinyur, tidak semua orang/anak-anak kita ini menjadi dokter, tidak semua harus menjadi ahli hukum. Tidak!”
Lanjut ayat itu, “Hendaknya ada yang tidak pergi berangkat perang, yang tidak menjadi insinyur, yang tidak menjadi doktor.” Ke mana? Mendalami ilmu agama (yatafaqqahu fiddin). Untuk apa? Di sini letaknya. Hati-hati ini. Kalau ayat itu diputus sampai di situ, salah jadinya. Itu belum putus karena di situ ada muta’alliq-nya.
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122)
Untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin) itu untuk apa? Maaf, kalau kata-kata agak tinggi, ini tidak sombong, tetapi memang begitu. Mereka ini yang akan menasihati kaumnya, masyarakatnya. Jadi, mereka yang akan memimpin insinyur, dokter, profesor-profesor. Ini kalau didengarkan oleh insinyur-insinyur yang kurang cerdas, dianggap kita ini menggagahi mereka. Tidak!
Kita suci al-Qur’an begitu! Umpamanya mudah saja, seorang dokter misalnya. Kita bisa mengingatkan, “Pak dokter sebaiknya memberi obat itu sambil berdoa bahwa yang sebenarnya yang menyembuhkan itu bukan obatnya, bukan dokternya, tapi Allah SWT.” Sekarang betul-betul terjadi, seorang dokter membaca bismillahirrahmanirrahim ketika menyuntik. Laris jadinya. Kepada insinyur begitu juga, dan kepada yang lain-lain.
Karena itu, saya ingin mengingatkan kepada anak-anakku yang menjadi pemimpin pondok pesantren, jangan kecil hati, merasa rendah diri bahwa kamu tidak menjadi dokter, tidak menjadi insinyur, justru kamulah yang harus memimpin mereka. Ini al-Qur’an. Jadi, kita jangan kecil hati. Kedudukan sebagai kyai sekarang ini, penghargaan masyarakat berubah jauh sama sekali dibandingkan 50 tahun yang lalu.
Kalau memakai istilahnya anak-anak sekarang, status sosialnya naik. Hanya kadang-kadang, kyai kita ini karena berubah status sosialnya berubah pula cara hidupnya. Ini agak kurang tepat, berubah cara hidupnya, kemewahan, kekakayaan, yang sampai lupa kepada pondoknya, mengutamakan perausahaannya, dan sebagainya.
Inilah yang saya sampaikan. Sekarang saya sudah puas menyampaikan ini, tapi kata-kata tadi “yang akan memimpin” itu untuk kita saja. Kalau ketemu dengan insinyur, jangan katakan begitu, tapi katakan dalam batinmu semua, “Saya yang harus memimpin.”
Kalau sekarang kita mudah mengambil contoh, insinyur yang bagaimana yang harus kita ingatkan? Para hadirin semua tahu. Dokter yang bagaimana yang harus kita ingatkan? Ahli hukum yang mana yang harus kita peringatkan? Sekarang mudah, orang awam banyak yang tahu kesalahan mereka. Bisa dibilang, status sosial pondok pesantren sekarang lain.
Ingatlah, yang mendirikan kerajaan Islam di Nusantara ini ulama, baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain. Jadi kalau kita mengatakan itu, tidak terlalu aneh, bahkan sekarang banyak diangkat dalam sinema, yaitu raja-raja Jawa, Sultan Pajang, dan lain sebagainya. Ketika itu ada yang minta nasihat kepada Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan lain-lain. Dari sini, kita tahu status ulama ketika itu
Sesudah itu kita bekerja, beramal. Beramal itu, kalau Pak Sahal mengatakan begini, “Saya ini hanya naluri, katanya saya tidak mendirikan pondok baru, tapi saya ingin naluri dengan pengertian, orang tua saya itu kyai, saya harus meneruskan sebagai kyai. Lantas, sesudah saya sebagai kyai harus berbuat sebagaimana kyai yang sebaik-baiknya. Kemudian ada Syukri (KH. Abdullah Syukri Zarkasyi—Peny.) yang mengikuti seminar-seminar, pulang membawa kata-kata, ‘Kita ini sudah diletakkan oleh Allah menjadi kyai memimpin pondok pesantren.’ Artinya, kita semua ini sudah diberi beban tafaqquh fiddin.”
Kata orang, mereka panggilannya begitu. Kalau memang mau di situ, jangan ragu-ragu, jangan setengah-setengah, apa bisa sampai? Mahfuzhatnya, “Man sara ‘aladdarbi wasala.” Artinya, segala sesuatu jika kita lalui sebagaimana mestinya, pasti sampai. Itu mengandung arti, pedagang membikin madrasah atau mendirikan percetakan, pokoknya kalau sara ‘ala thariqihi wasala.
Sekarang di dalam madrasah atau pondok pesantren, jalannya bagaimana? Ya kita pikirkan, memeras otak. Ini zaman modern. Kalau zaman dahulu orang mau mendirikan pondok pesantren itu dengan nyepi, mencari impian, katanya harus mencium tanahnya, cocok atau tidak, dan lain sebagainya. Itu dalam dongeng. Zaman sekarang tidak.
Ini abad modern. Semua harus diperhitungkan, otak harus berjalan. Itulah jalan yang harus kita ikuti sebagaimana mestinya. Caranya bagaimana? Ikuti saja mana yang sudah dicapai, kita ambil yang betul, yang baik kita pakai. Jadi, kita sekarang tentunya lebih mudah daripada perintis-perintis zaman dahulu.
Kalau perintis saya, kami Trimurti, Pak Sahal betul-betul melalui jalan yang sangat sulit. Kemarin kami bertemu dengan Kyai Abdullah Syafi’i, kami ngobrol-ngobrol. Dia mengira kalau kami itu diletakkan di tanah yang subur. Saya jawab, “Tidak.” Ketika Trimurti mau menghidupkan itu, masya Allah. Sangat minus, masjidnya begitu kecil. Ketika saya mulai shalat Jumat, isinya hanya sebaris lebih, kadang-kadang dua baris.
Bayangkan! Itu saya sudah pulang dari sekolah untuk menambah jumlah yang Jumatan itu. Itu sudah cukup menjadi bayangan bagaimana minusnya. Orang sekitar sudah terjerumus dalam paham-paham Gatoloco, paham gusti Allah ing awake dewe, shalat model kering-keringan—tidak pakai air, dan lain sebagainya. Masyarakat sekitar pondok begitu semuanya. Menghadapi masyarakat model seperti ini perlu pejuangan yang luar biasa.
Memang betul mujahadah, kemusyrikan tidak terhitung, kemaksiatan tidak terbilang. Kalau dalam suatu desa ada rame-rame, bayi lahir, nanti sepasaran orang datang, ada orang khitanan datang. Tiap-tiap ada perkumpulan kecil seperti itu tidak seharusnya ada ‘kejutan’. Mengeti, apa kejutan itu? Ya itu, mabuk-mabukan. Itu sudah biasa, tidak dianggap maksiat. Begitulah kerusakan masyarakat sekitar pondok.
Pada mulanya, kami hanya mempengaruhi sekitar rumah, itu saja tidak bisa semua. Di antara saudara saya yang kurang mengerti menganggap bahwa Trimurti mendirikan madrasah ini karena tidak menapat tempat untuk menjadi pegawai negeri alias pelarian. Kami mendengar kata-kata itu ya diam saja. Ketika itu kami sudah berniat dari jauh bahwa di tempat inilah kami berjuang. Di sinilah tempat perjuangan, ini sudah menjadi tekad.
Kemudian mempengaruhi warga Desa Gontor ini juga tidak mudah. Ini Pak Sirman masih ingat. Barangkali yang tua sudah lupa sedikit-sedikit. Di sekitar ini yang mula-mula mudah diislamkan itu Gontor Selatan, merambat ke tengah, lantas agak terakhir ke Utara. Untuk mengislamkan sekian itu sangat sulit. Jadi, kalau dikatakan tempat ini subur, tidak benar.
Ada yang dari luar desa, Pak Sirman dari Nglumpang. Ketika itu orang Joresan dibagi dua, sebagian mau dan sebagian anti! Kalau Desa Gandu paling akhir terus ke Timur lebih lancar jalannya. Kemudian sampai ke Tugu, Suren, lama-lama ke luar kecamatan. Pak Shoiman itu dari Balong. Sesudah itu datang dari Trenggalek, luar kabupaten!
Begitu kita merangkak sedikit demi sedikit sampai sekarang. Karena itu, saya ingin supaya ini dimengerti oleh anak-anakku yang mempunyai pondok pesantren. Jangan terburu besar, jangan terburu maju, harus dimengerti mau ke mana. Yang dikatakan maju itu bagaimana? Jangan salah arah!
Maju itu kalau muridnya banyak, itu salah! Maju itu kalau gedungnya besar-besar, baik-baik, salah lagi! Lebih salah! Jadi, yang maju itu bagaimana? Maju itu kalau muridnya dari jauh-jauh, itu kata Pak Ihsanuddin. Apakah anak-anak dari jauh-jauh lantas dimanja-manja? Tidak! Lantas pelajarannya diubah? Tidak! Sekali waktu, ada anak dari Kalimantan menghadap untuk berbicara, kemudian mengusulkan perubahan jadwal atau kurikulum.
Tentu, ketika itu kami jawab, “Ini tidak pada tempatnya.” Yang mengatur kurikulum itu guru atau murid? Itu salah satu jawaban yang mudah saja, tetapi kami jelaskan satu-persatu yang kami anggap penting. Sesudah diperhitungkan, akhirnya tidak sampai ada perubahan. Intinya, bekerja dengan berpikir, berusaha dengan berpikir. Berdoa saja salah, bekerja tidak pakai berdoa juga salah. Bekerja, berpikir, berusaha dan berdoa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar