Oleh KH. Imam Zarkasyi
Disampaikan pada Resepsi Silaturahim dan Musyawarah Kerja
IKPM di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo pada tanggal 19 R. Awal
1404/24 Desember 1983.
Suatu kebahagiaan bagi saya, dapat bertemu muka
satu-persatu dengan anak-anakku. Ini merupakan keuntungan bagi kita semua.
Mungkin saya akan menyampaikan tambahan. Maklum seperti kata orang, kalau cinta
itu omongnya tidak habis-habis. Tapi kalau mulai tidak senang satu sama
lain, tidak mau omong.
Sekali lagi, yang akan saya sampaikan nanti banyak.
Mungkin malah kurang waktu. Tetapi bagi saya, ini kesempatan yang besar sekali.
Malam ini insya Allah kesempatannya panjang. Di antara yang akan saya
berikan itu beberapa pengertian baru. Isinya lama, wajahnya lama, tetapi
pengertiannya mungkin menjadi baru. Dikatakan baru karena keadaan dan
suasananya baru.
Banyak di antara anak-anak kita ini mempunyai pondok
pesantren. Paling tidak dia dipanggil orang ‘kyai’. Sekarang ini kedudukan
pondok pesantren dan kyai supaya disadari, umpamanya kalau pondok pesantren
hanya mempunyai Madrasah Ibtidaiyah, mungkin merasa kecil hati, merasa rendah
diri. Kalau hanya mengaji dengan kitab-kitab bahasa Arab, mungkin ada perasaan
“hanya”. Untuk itu, saya akan menyampaikan sesuatu supaya dipahami bersama.
Kedudukan kyai, pondok pesantren, ulama pada zaman dulu
dan kini lain. Kalau dulu sebelum Belanda datang, kedudukannya baik, dan betul
pada tempatnya. Sesudah Belanda datang, sengaja kyai-kyai itu direndahkan untuk
politik mereka. Tidak diberi kedudukan, tidak diambil perhatian. Hal itu jelas
disebutkan dalam al-Qur’an.
قَالَتْ
إِنَّ الْمُلُوكَ
إِذَا دَخَلُوا
قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا
وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ
أَهْلِهَا أَذِلَّةً
وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
(النمل: 34)
Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila
memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka
perbuat. (QS. an-Naml [27]: 34)
Itu berlaku betul ketika Belanda masuk Indonesia.
Sehingga raja-raja Islam Jawa dan luar Jawa sedikit banyak terpengaruh oleh
Belanda, meskipun di antara mereka masih menghargai kepada kyai dan ulama.
Menteri Agama ketika datang di sini menerangkan, dia merasa wajib sowan
menghadap kepada kyai, supaya jangan ada kyai yang menghadap kepada umara.
Kewajiban umara yang harus menghadap kepada kyai.
Malah dikatakan ada dalilnya, entah dhaif entah qawi,
saya tidak tahu, “Sejelek-jelek ulama itu yang sowan umara. Tapi
sebaliknya, sebaik-baik umara yang sowan kepada ulama.” Jadi, supaya
saya jangan salah, dia yang mendahului ke sini sebelum saya sowan
kepadanya. Ini maksudnya, mau mengembalikan status kyai yang sebenarnya.
Ini mungkin kehendak Allah, takdir Allah, datangnya abad
yang ke-15 Hijriah ini membawa perubahan. Barangkali di antara anak-anak kita
ini, yaitu anakku kakek Ihsanuddin. Anakku tetapi sudah menjadi kakek tua. Dia
barangkali ingat bagaimana kyai dulu dihina. Kedudukan kyai itu sebenarnya di
mana? Semua sudah hafal ayatnya. Ayat itu menjadi simbol Al-Azhar, simbol
Jami’ah Madinah, yaitu ada dalam surah At-Taubah.
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً
فَلَوْلا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ
فِرْقَةٍ مِنْهُمْ
طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ (التوبة:
122)
Tidak semua orang mukmin itu pergi ke medan perang.
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Tentu, kalian sudah mengerti maksudnya. Sampai di situ
diterjemahkan, “Tidak semua orang mukmin itu pergi ke perang.” Itu pada
waktu perang. Lalu, di era pembangunan bagaimana? Saya mencoba menerjemahkan
begini, “Tidak semua orang itu harus menjadi insinyur, tidak semua
orang/anak-anak kita ini menjadi dokter, tidak semua harus menjadi ahli hukum.
Tidak!”
Lanjut ayat itu, “Hendaknya ada yang tidak pergi berangkat
perang, yang tidak menjadi insinyur, yang tidak menjadi doktor.” Ke mana?
Mendalami ilmu agama (yatafaqqahu fiddin). Untuk apa? Di sini
letaknya. Hati-hati ini. Kalau ayat itu diputus sampai di situ, salah jadinya.
Itu belum putus karena di situ ada muta’alliq-nya.
وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ
لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122)
Untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah [9]: 122)
Mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin) itu untuk
apa? Maaf, kalau kata-kata agak tinggi, ini tidak sombong, tetapi memang
begitu. Mereka ini yang akan menasihati kaumnya, masyarakatnya. Jadi, mereka
yang akan memimpin insinyur, dokter, profesor-profesor. Ini kalau didengarkan
oleh insinyur-insinyur yang kurang cerdas, dianggap kita ini menggagahi mereka.
Tidak!
Kita suci al-Qur’an begitu! Umpamanya mudah saja, seorang
dokter misalnya. Kita bisa mengingatkan, “Pak dokter sebaiknya memberi obat
itu sambil berdoa bahwa yang sebenarnya yang menyembuhkan itu bukan obatnya,
bukan dokternya, tapi Allah SWT.” Sekarang betul-betul terjadi, seorang
dokter membaca bismillahirrahmanirrahim ketika menyuntik. Laris jadinya.
Kepada insinyur begitu juga, dan kepada yang lain-lain.
Karena itu, saya ingin mengingatkan kepada anak-anakku
yang menjadi pemimpin pondok pesantren, jangan kecil hati, merasa rendah diri
bahwa kamu tidak menjadi dokter, tidak menjadi insinyur, justru kamulah yang
harus memimpin mereka. Ini al-Qur’an. Jadi, kita jangan kecil hati. Kedudukan
sebagai kyai sekarang ini, penghargaan masyarakat berubah jauh sama sekali
dibandingkan 50 tahun yang lalu.
Kalau memakai istilahnya anak-anak sekarang, status
sosialnya naik. Hanya kadang-kadang, kyai kita ini karena berubah status
sosialnya berubah pula cara hidupnya. Ini agak kurang tepat, berubah cara
hidupnya, kemewahan, kekakayaan, yang sampai lupa kepada pondoknya,
mengutamakan perausahaannya, dan sebagainya.
Inilah yang saya sampaikan. Sekarang saya sudah puas
menyampaikan ini, tapi kata-kata tadi “yang akan memimpin” itu untuk kita saja.
Kalau ketemu dengan insinyur, jangan katakan begitu, tapi katakan dalam batinmu
semua, “Saya yang harus memimpin.”
Kalau sekarang kita mudah mengambil contoh, insinyur yang
bagaimana yang harus kita ingatkan? Para hadirin semua tahu. Dokter yang
bagaimana yang harus kita ingatkan? Ahli hukum yang mana yang harus kita
peringatkan? Sekarang mudah, orang awam banyak yang tahu kesalahan mereka. Bisa
dibilang, status sosial pondok pesantren sekarang lain.
Ingatlah, yang mendirikan kerajaan Islam di Nusantara ini
ulama, baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain. Jadi kalau
kita mengatakan itu, tidak terlalu aneh, bahkan sekarang banyak diangkat dalam
sinema, yaitu raja-raja Jawa, Sultan Pajang, dan lain sebagainya. Ketika itu
ada yang minta nasihat kepada Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan lain-lain. Dari
sini, kita tahu status ulama ketika itu
Sesudah itu kita bekerja, beramal. Beramal itu, kalau Pak
Sahal mengatakan begini, “Saya ini hanya naluri, katanya saya tidak
mendirikan pondok baru, tapi saya ingin naluri dengan pengertian, orang tua
saya itu kyai, saya harus meneruskan sebagai kyai. Lantas, sesudah saya sebagai
kyai harus berbuat sebagaimana kyai yang sebaik-baiknya. Kemudian ada Syukri
(KH. Abdullah Syukri Zarkasyi—Peny.) yang mengikuti seminar-seminar, pulang
membawa kata-kata, ‘Kita ini sudah diletakkan oleh Allah menjadi kyai memimpin
pondok pesantren.’ Artinya, kita semua ini sudah diberi beban tafaqquh fiddin.”
Kata orang, mereka panggilannya begitu. Kalau memang mau
di situ, jangan ragu-ragu, jangan setengah-setengah, apa bisa sampai?
Mahfuzhatnya, “Man sara ‘aladdarbi wasala.” Artinya, segala sesuatu jika
kita lalui sebagaimana mestinya, pasti sampai. Itu mengandung arti, pedagang
membikin madrasah atau mendirikan percetakan, pokoknya kalau sara ‘ala
thariqihi wasala.
Sekarang di dalam madrasah atau pondok pesantren,
jalannya bagaimana? Ya kita pikirkan, memeras otak. Ini zaman modern. Kalau
zaman dahulu orang mau mendirikan pondok pesantren itu dengan nyepi,
mencari impian, katanya harus mencium tanahnya, cocok atau tidak, dan lain
sebagainya. Itu dalam dongeng. Zaman sekarang tidak.
Ini abad modern. Semua harus diperhitungkan, otak harus
berjalan. Itulah jalan yang harus kita ikuti sebagaimana mestinya. Caranya
bagaimana? Ikuti saja mana yang sudah dicapai, kita ambil yang betul, yang baik
kita pakai. Jadi, kita sekarang tentunya lebih mudah daripada perintis-perintis
zaman dahulu.
Kalau perintis saya, kami Trimurti, Pak Sahal betul-betul
melalui jalan yang sangat sulit. Kemarin kami bertemu dengan Kyai Abdullah
Syafi’i, kami ngobrol-ngobrol. Dia mengira kalau kami itu diletakkan di tanah
yang subur. Saya jawab, “Tidak.” Ketika Trimurti mau menghidupkan itu, masya
Allah. Sangat minus, masjidnya begitu kecil. Ketika saya mulai shalat
Jumat, isinya hanya sebaris lebih, kadang-kadang dua baris.
Bayangkan! Itu saya sudah pulang dari sekolah untuk
menambah jumlah yang Jumatan itu. Itu sudah cukup menjadi bayangan
bagaimana minusnya. Orang sekitar sudah terjerumus dalam paham-paham Gatoloco,
paham gusti Allah ing awake dewe, shalat model kering-keringan—tidak
pakai air, dan lain sebagainya. Masyarakat sekitar pondok begitu semuanya.
Menghadapi masyarakat model seperti ini perlu pejuangan yang luar biasa.
Memang betul mujahadah, kemusyrikan tidak
terhitung, kemaksiatan tidak terbilang. Kalau dalam suatu desa ada rame-rame,
bayi lahir, nanti sepasaran orang datang, ada orang khitanan datang. Tiap-tiap
ada perkumpulan kecil seperti itu tidak seharusnya ada ‘kejutan’. Mengeti, apa
kejutan itu? Ya itu, mabuk-mabukan. Itu sudah biasa, tidak dianggap maksiat.
Begitulah kerusakan masyarakat sekitar pondok.
Pada mulanya, kami hanya mempengaruhi sekitar rumah, itu
saja tidak bisa semua. Di antara saudara saya yang kurang mengerti menganggap
bahwa Trimurti mendirikan madrasah ini karena tidak menapat tempat untuk
menjadi pegawai negeri alias pelarian. Kami mendengar kata-kata itu ya diam
saja. Ketika itu kami sudah berniat dari jauh bahwa di tempat inilah kami
berjuang. Di sinilah tempat perjuangan, ini sudah menjadi tekad.
Kemudian mempengaruhi warga Desa Gontor ini juga tidak
mudah. Ini Pak Sirman masih ingat. Barangkali yang tua sudah lupa
sedikit-sedikit. Di sekitar ini yang mula-mula mudah diislamkan itu Gontor
Selatan, merambat ke tengah, lantas agak terakhir ke Utara. Untuk mengislamkan
sekian itu sangat sulit. Jadi, kalau dikatakan tempat ini subur, tidak benar.
Ada yang dari luar desa, Pak Sirman dari Nglumpang.
Ketika itu orang Joresan dibagi dua, sebagian mau dan sebagian anti! Kalau Desa
Gandu paling akhir terus ke Timur lebih lancar jalannya. Kemudian sampai ke
Tugu, Suren, lama-lama ke luar kecamatan. Pak Shoiman itu dari Balong. Sesudah
itu datang dari Trenggalek, luar kabupaten!
Begitu kita merangkak sedikit demi sedikit sampai
sekarang. Karena itu, saya ingin supaya ini dimengerti oleh anak-anakku yang
mempunyai pondok pesantren. Jangan terburu besar, jangan terburu maju, harus
dimengerti mau ke mana. Yang dikatakan maju itu bagaimana? Jangan salah arah!
Maju itu kalau muridnya banyak, itu salah! Maju itu kalau
gedungnya besar-besar, baik-baik, salah lagi! Lebih salah! Jadi, yang maju itu
bagaimana? Maju itu kalau muridnya dari jauh-jauh, itu kata Pak Ihsanuddin.
Apakah anak-anak dari jauh-jauh lantas dimanja-manja? Tidak! Lantas
pelajarannya diubah? Tidak! Sekali waktu, ada anak dari Kalimantan menghadap
untuk berbicara, kemudian mengusulkan perubahan jadwal atau kurikulum.
Tentu, ketika itu kami jawab, “Ini tidak pada tempatnya.”
Yang mengatur kurikulum itu guru atau murid? Itu salah satu jawaban yang mudah
saja, tetapi kami jelaskan satu-persatu yang kami anggap penting. Sesudah
diperhitungkan, akhirnya tidak sampai ada perubahan. Intinya, bekerja dengan
berpikir, berusaha dengan berpikir. Berdoa saja salah, bekerja tidak pakai
berdoa juga salah. Bekerja, berpikir, berusaha dan berdoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar