Kamis, 03 Mei 2018

Puas dan Memuaskan


Dalam setiap pengambilan keputusan sangat sering pengasuh pondok mengucurkan air mata. Seorang santri yang dikeluarkan dari pondok pesantren karena melanggar disiplin, melampaui sunnah, maka pengasuh sering tertegun, berdiam diri, termenung beberapa saat, sebelum menandatangani surat keputusan dari Bagian Keamanan yang diajukan kepada beliau.
Seiring mata tangan mengayunkan pena untuk membubuhi tanda tangan di atas surat keputusan, air mata telah lebih dahulu menetes jatuh ke atas kertas sebelum pena mengayun.
Terbayang juga di wajah pengasuh seorang bapak yang datang dari seberang misalnya, sering mencucurkan air mata di hadapan beliau minta agar anaknya diterima di pondok pesantren karena sudah sejak keluar dari rumah niatnya hanya untuk menyerahkan anak-anaknya kepada pengasuh pondok.
Dalam menghadapi hal yang serupa itu hanya air mata yang dapat menyelesaikannya. Air mata dibalas dengan air mata.
Anak-anak yang tidak lulus ujian masuk, tetap belum dapat diterima karena hanya ujian yang menjadi ukuran ilmiah. Kepulangan mereka karena tidak lulus amat mengharukan hati pengasuh, terkenang bagaimana rasanya orangtua yang menanti berita di kampung setelah menerima berita anaknya yang tidak lulus itu.
Setelah berakhirnya tahun ajaran, setelah anak-anak menyelesaikan ujian, tentu nasib dari tiap-tiap seorang anak diketahui. Di antaranya ada yang naik dan tidak naik kelas atau naik kelas sebagai percobaan.
Selain penyampaian nasihat secara resmi kepada segenap santri, pengasuh selalu memberikan keterangan, penjelasan kepada santri-santri yang naik kelas ataupun tidak naik kelas.
Ini juga diberikan penjelasan kepada orangtua agar lebih meresap. Inilah sebuah keikhlasan yang dinyatakan atas sebuah keputusan yang telah diambil dan dirumuskan bagi santri-santri yang naik kelas dan yang tidak naik kelas.
Jika santri kuat dan sabar, maka ia akan merasa puas, demikian pula teman sejawatnya. Pondok pesantren akan turut puas, begitu pula orangtua, sanak famili, masyarakat yang menanti kedatangannya. Adapun anak yang dipulangkan, yang terpaksa angkat koper keluar pondok pesantren, bukan sama sekali dikarenakan benci, bukan berarti tak disayangi.
Hal yang serupa ini dijalankan, dilaksanakan mengingat pada perbaikan bersama, lebih-lebih demi untuk kemaslahatan anak itu sendiri. Jadi, memulangkan santri bukan karena benci, untuk merusak atau menjatuhkan harga dirinya.
Mungkin disebabkan kejadian itu ia akan insaf sehingga menjadi pelajaran bagi dirinya, dan kemungkinan pula pondok pesantren tak sesuai dengan pembawaan serta tabiatnya. Bisa jadi, dia akan membawa kebahagiaan di tempat lain.
Yang amat penting lagi, pengusiran dilakukan untuk menjaga kepentingan pendidikan santri-santri yang masih tinggal di pondok yang sekian banyak itu. Lebih baik mempersilakan penumpang yang merusak keluar daripada membiarkannya dan mempengaruhi yang lain.
Begitulah penjelasan yang disampaikan pimpinan pondok dalam pekan perkenalan. Kini setiap santri memiliki kemantapan hati untuk menuntut ilmu di pondok pesantren. Pekan perkenalan seperti membukakan hati dan cakrawala pikiran mereka tentang keseluruhan pondok dan sistemnya yang harus dipegang teguh selama belajar di pondok pesantren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar