Kamis, 03 Mei 2018

Pondok dan Keikhlasan




Tradisi kyai dan pondoknya tidak akan dapat dipisahkan dengan keikhlasan. Keikhlasan dalam segala usaha dan tujuan dengan pengertian yang sedalam dan seluas-luasnya. Hubungan ikhlas dan usaha itu bagaikan hubungan jiwa dan raga, bagai kulit dengan daging. Inilah mutiara indah dan mahal yang dimiliki oleh insan, terutama yang bermaksud untuk menegakkan kalimat Allah dari masa ke masa.
Mutiara ini harus digali, dimiliki kembali untuk menghias dan mengisi kekosongan pemimpin dewasa ini. Ikhlas merupakan ajaran para nabi, dicontohkan para syuhada, dan diamalkan para saleh. Ia telah diwarisi para sahabat, tabiin, mujahidin dan ulama. Mereka telah mencapai masa gemilang membangun umat. Demikian pula para kyai dengan pondok.
Seorang kyai dengan penuh keikhlasan mencurahkan segala ilmu yang ada di dalam dadanya kepada santri dan umat yang membutuhkan. Ikhlas dalam menyampaikan amanat kepada segenap umatnya. Bagi mereka, tidak ada satu pilihan pun untuk menunaikan kewajibannya selain ridha Allah semata. Mereka adalah kyai yang sederhana di masa dahulu.
Adakah ia menginginkan harta dengan pondok yang dirintisnya? Jangankan mengingin dan mengharap tambah harta dari pondoknya, malahan harta yang ada pada mereka dikorbankan untuk memupuk dan menyuburkan pondoknya.
Bukankah sering kita jumpai bahwa dalam pondok-pondok, surau-surau atau pesantren-pesantren ada puluhan bahkan ratusan santri yang makan dan minumnya dibiayai kyai. Adakah ia mengharapkan keharuman nama dan pangkat jabatan dengan pertolongan santri? Ia tidak mengharapkan keharuman nama dan ketinggian pangkat sama sekali.
Sejak mulai mencurahkan ilmu kepada para santri, sejak itu pula para santri memanggilnya kyai. Sebutan ini disematkan dari tahun ke tahun. Hanya itulah kebesaran namanya dan ketinggian pangkatnya.
Adakah ia mengharapkan gaji dan dana pensiun setelah lanjut usia? Tidak, sekali-kali tidak! Jauh panggang daripada api. Gaji dan pensiunannya telah cukup, manakala usaha dan tujuannya itu diridhai Allah. Itulah tujuan dan harapan seorang kyai, hanya Allah semata.
Sebagai imbalan dari keikhlasan kyai, para santri ikhlas belajar dan bersedia menerima pelajaran. Ikhlas dididik dan menerima pendidikan. Ikhlas dinasihati dengan penuh kesadaran dan keinsafan.
Ia pergi ke pondok dengan satu tujuan, thalabul ilmi. Mencari dan menuntut ilmu karena Allah. Dengan tujuan semata-mata menuntut ilmu, maka yang dinamakan kelas tidak akan terdapat dalam kamus pondok.
Waktu belajar itu tidak ada batasnya. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi lelaki dan perempuan kaum muslimin.” “Tuntutlah ilmu semenjak engkau masih berada di buaian hingga ke liang lahat.” Begitulah sabda Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu, dengan segala keikhlasan, bertekun dengan kesungguhan hati menghadap kyai, meminta ilmu dan didikannya. Para santri bertekun dari tahun ke tahun, dari satu, dua, tiga, sepuluh, lima belas, bahkan sampai dua puluh tahun.
Ia tidak membayangkan kelas berapa tahun nanti, naik atau tidak, positif, dan negatif. Semua tidak terlintas dalam benak dan ingatannya. Tak seorang santri pun yang bertanya kepada kyai, kepada temannya, kepada dirinya sendiri, pangkat apakah yang akan dicapai, berapa gajinya, dan lain sebagainya.
Bukan untuk Mencari Ijazah
Surat ijazah, surat keterangan tanda lulus, hampir lulus, percobaan atau tidak lulus, sama sekali tidak ada. Kyai tidak memberi, santri sendiri tidak meminta. Ijazahnya ada pada kesadaran dirinya—tahu diri. Keterangan tanda lulus adalah keinsafan dirinya, setengah lulus kesadaran dirinya, seperempat lulus evaluasi diri, seperempat lulus keraguan diri, tidak lulus tak percaya diri.
Ijazah terletak di tengah umat. Umatlah yang bersedia memberi keterangan tanda lulus atau tidak berguna. Itulah sebenar-benar dan setinggi-tingginya ijazah. Di akhirat, ijazah itu tidak akan lebih berharga dan lebih mulia lagi.
Ijazah dari masyarakat adalah benar, ijazah dari Allah adalah hak dan kekal. Ijazah hakiki karena keikhlasan tak dapat dibeli dengan uang, tak dapat ditebus dengan barang. Ia tidak dapat digosok, dipuji dan dirayu.
Demikian keikhlasan Kyai dengan diimbangi santri. Santri tidak merasa kecewa, tidak pula merasa putus asa. Kyai ikhlas, santri pun ikhlas. Kedua belah pihak merasa puas. Rasa cemburu karena tertipu, rasa merana karena terperdaya, tak ada sama sekali. Rasa khawatir disebabkan tak adil, rasa gelisah karena tak wajar. Itu semua tidak ada!
Mereka Hidup dalam Keikhlasan
Pada dewasa ini, di tengah masyarakat sering dijumpai ketegangan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Apa sebabnya? Kurang keikhlasan yang menjadi satu-satu sebab di samping masih berselubung keculasan di dalam hatinya.
Lurus dan benar, niat dan sengaja karena Allah semata. Tidak mendustai dirinya dengan perkataan “karena Allah”. Itulah keikhlasan, dalam hatinya tidak bersarang karena ingin dipuji, dia tidak mengharapkan nama dan sebutan. Usaha dan perbuatannya adalah kewajiban yang harus dipikul. Kalaupun ada harapan, harapan itu hanya kepada Allah SWT.
Sering terjadi suatu usaha patah di tengah jalan dan tak mendapat hasil yang dikehendaki. Ini karena sifat keikhlasan telah saru—samar, tak jernih, tak suci lagi.
Yang dimaksud dengan ikhlas adalah bersih, tidak ada campuran. Dalam emas, disebut emas murni. Kemurnian dalam kerja, itulah ikhlas. Dalam bahasa Jawa, ikhlas ini diungkapkan dalam bahasa yang sangat sederhana, sepi ing pamrih, yang berarti tidak berpamrih.
Kalau ada yang tidak dimengerti atau tidak percaya pada keikhlasan, maka ukurannya yang salah. Hanya orang yang ikhlas yang tahu akan keikhlasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar